Selasa, 02 Oktober 2012

PERIWAYATAN HADITS


PERIWAYAN HADITS DENGAN LAFAL DAN MAKNANYA
Oleh : NARTO (sabdonarto@gmail.com)

BAB I
PENDAHULUAN

A Latar Belakang
Hadits merupakan sumber rujukan kedua dalam kajian hukum Islam setelah al-Qur’an al-Karim. Oleh karena itu, kedudukan hadits sangat signifikan dan urgen dalam Islam. Hanya saja urgensi dan signifikansi hadits tidak mempunyai makna, manakala eksistensinya tidak didukung oleh uji kualifikasi historis yang memadai dalam proses transmisinya (periwayatan).[1] Dengan demikian, sebelum hadits itu menjadi rujukan yang merupakan sumber dan landasan suatu istinbat hokum, maka uji kualifikasi historis untuk menentukan otentik tidaknya hadits tersebut merupakan hal yang niscaya harus dilakukan.
Kajian terhadap periwayatan hadits untuk menentukan otentik-tidaknya sudah banyak dilakukan oleh para ahli baik klasik maupun kontemporer. Dan kajian ini tidak saja dilakukan oleh para pemikir muslim (insider) sendiri akan tetapi juga oleh para orientalis yang notabene non-muslim (outsider). Para pengkaji hadits dari kalangan muslim yang cukup kritis misalnya – untuk menyebut beberapa – Fazlur Rahman dari Indo Pakistan, Muhammad al-Ghazali dan Yusuf Qardhawi dari Mesir, Muhammad Syahrur dari Syiria dan M. Musthafa al-‘Azami dari India. Sedangkan dari kalangan Non-Muslim (orientalis) kajian hadits dilakukan antara lain oleh Sprenger, Ignaz Goldziher, Montgomery Watt, Joseph Scahact, dan sebagainya.[2] Dan diakui maupun tidak, periwayatan hadits menjadi kajian yang problematik dan menarik bagi para ahli, baik yang mengkajinya sebagai pembela maupun sebagai penentangnya.
Dalam konteks historis, periwayatan hadits tidak seberuntung al-Qur’an yang memang sejak awal telah dilakukan kodifikasi dan pembukuan. Sementara kodifikasi al-hadits dilakukan lebih belakangan jauh setelah wafatnya Nabi SAW.[3] Dengan demikian periwayatan hadits menjadi problematik dan banyak mengundang kritik dari para orientalis yang cukup tajam dan bahkan memandang apriori terhadap otentisitasnya. Untuk itu, kajian dalam makalah ini ingin mengungkap dan menelusuri pengertian periwayatan hadits dengan lafal dan makna, metode periwayatan hadits dengan lafal dan makna, bentuk-bentuk periwayatan hadits dengan lafal dan makna, dan sikap para sahabat terhadap periwayataan hadits dengan lafal dan makna.

B  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut :
  1. Bagaimana pengertian periwayatan hadits dengan lafal dan makna?
  2. Bagaimana metode periwayatan hadits dengan lafal dan makna ?
  3. Bagaimana bentuk-bentuk periwayatan hadits dengan lafal dan makna ?
  4. Bagaimana sikap para sahabat terhadap periwayatan hadits dengan lafal dan makna ?

C  Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka penulis dapat menentukan tujuan pembahasan makalah sebagai berikut :
  1. Ingin mengetahui pengertian periwayatan hadits dengan lafal dan makna.
  2. Ingin mengetahui metode periwayan hadits dengan lafal dan makan.
  3. Ingin mengetahui bentuk-bentuk periwayatan hadits dengan lafal dan makna.
  4. Ingin mengetahui sikap para sahabat terhadap periwayatan hadits dengan lafal dan makna.


BAB II
PEMBAHASAN

A  Pengertian Periwayatan Hadits dengan Lafal dan Makna
Sebelum terhimpun dalam kitab-kitab hadits, hadits Nabi terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadis atau al-riwayah, yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan.[4] Kata al-riwayah adalah masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti al-naql (penukilan), al-zikr (penyebutan), al-fatl (pemintalan) dan al-istoqa’ (pemberian minum sampai puas).[5] Sementara sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.[6]
Sementara secara istilah ilmu hadits, menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan al-riwayah adalah: “Kegiatan penerimaan dan penyampaian hadits, serta penyandaran hadits itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadits dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan hadits itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadits. Sekiranya orang tersebut menyampaikan hadits yang diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadits itu tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadits”.[7]
Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadits Nabi, yaitu; (1) orang yang melakukan periwayatan hadits yang kemudian dikenal dengan ar-rawiy (periwayat), (2) apa yang diriwayatkan (al-marwiy), (3) susunan rangkaian periwayat (sanad/isnad), (4) kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan, dan (5) kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa ada al- hadits).[8]
Periwayatan hadits secara lafal (ar-riwayah bi al-lafz) ialah “ seorang perawi menyampaikan hadits secara leterlek yaitu dengan lafal yang di terimanya, tanpa ada perubahan, penggantian, penambahan maupun pengurangan sedikitpun.[9]
Periwayatan hadits dengan lafadz adalah periwayatan hadits dengan menggunakan lafadz sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata, penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata.
Periwayatan hadits secara makna (ar-riwayah bi ma’na) ialah seorang perawi menyampaikan hadits yang diterimanya dengan menggunakan lafal dari dirinya sendiri, baik keseluruhan maupun sebagian saja, dengan tetap menjaga artinya tanpa menghilangkan apapun apabila dibandingkan dengan hadits yang diriwayatkan secara lafal atau sesuai dengan teks aslinya.[10]
Jelasnya periwayatan dengan makna yaitu meriwayatkan hadits dengan lafadz yang disusun perawi sendiri sesuai dengan makna yang dicakup oleh ucapan, perbuatan dan takrir ataupun sifat nabi saw.[11] Dan periwayatan hadits bil al-makna yang diperselisihkan para ulama adalah hadits qauly atau perkataan Rosulullah yang diriwayatkan oleh para sahabat dengan maknanya saja, tidak sebagaimana dilafalkan oleh Nabi Muhammad saw.

B Metode Periwayatan Hadits dengan lafal dan makna
Sejak resmi diangkat menjadi Nabi dan utusan Allah pada tahun 610 M  yaitu dengan menerima wahyu al-Qur’an, menjadi kewajiban Muhammad untuk menyampaikan apa yang diterimanya tersebut kepada umatnya.[12] Pada saat itulah tahapan dakwah dimulai karena adanya perintah tabligh dan dengan begitu dimulai pula fase pertama terjadinya hadits. Permulaan terjadinya hadis adalah seiring bersamaan dengan awal turunya wahyu. Secara singkat dapat dikatakan bahwa usia hadits adalah seusia al-Qur’an sendiri.[13]
 Penyampaian hadis oleh nabi pada awalnya berjalan apa adanya dan alamiyah, sesuai dengan tugasnya dengan audiens sahabat sebagai penerimanya, tanpa melalui syarat-syarat yang ketat atau dengan menggunakan kata-kata (alat) penyampai yang sekarang disebut at-Tahamul wa al-ada’ yang rumit, kecuali bahwa sahabat mendengar dan melihat ucapan dan praktik Nabi baik secara langsung maupun tidak.[14]
Karena berbagai faktor dan seiring dengan semakin menyebarnya sahabat, kesempatan mereka untuk menimba ilmu dan mengikuti Nabi antar mereka tidak sama.[15] Hal ini menjadikan pengetahuan mereka mengenai hadits nabi tidak sama. Diantara meraka ada banyak menerima dan meriwayatkan hadits dan ada pula yang sedikit. Semua tergantung pada kesibukan dan profesi mereka yang mendorong mereka untuk eksis. Melihat fenomena ini, Nabi mendorong sahabatnya yang hadir dalam majelisnya untuk menyampaikan kembali pada sahabat lain yang tidak hadir. Dari dorongan nabi tersebut lahir emberio salah satu cabang ilmu hadits yaitu ilmu riwayah.[16]
Seiring meluasnya dunia Muslim waktu itu, maka dalam penyebaran hadits yang lebih intensif dan bisa dipertanggungjawabkan menuntut metode baru dalam belajar mengajar hadits. Dalam konteks ini, pada umumnya, ulama membagi metode periwayatan hadits kepada delapan macam: (1) al-sama’ min lafzh al-syaikh; (2) al-qira’ah ala syaikh; (3) al-ijazah; (4) al-munawalah; (5) al-mukatabah; (6) al-‘i’lam; (7) alwasiyah; (8) al-wijadah.
Pertama, sama’. Yaitu seorang guru membacakan hadits untuk muridnya. Cara ini mencakup bentuk berikut: membaca secara lisan, membaca dari buku-buku, tanya jawab, dan dikte.[17] Cara ini tersebar luas pada masa Sahabat.[18]
Kedua, al-qiraah ala al-syaikh atau biasa disebut dengan qiraah atau ardh adalah periwayat menghadapkan riwayat hadits kepada guru hadits dengan cara periwayat sendiri yang membacanya atau orang lain yang membacakanya dan dia mendengarkan. Riwayat hadits yang dibacanya itu dapat berasal dari catatanya, atau dapat juga dari hafalanya. Guru hadits yang disodori bacaan tadi aktif menyimaknya melalui hafalanya sendiri atau melalui catatan yang paling teliti yang ada padanya. Dan metode ini merupakan praktik yang sangat umum semenjak awal abad kedua Hijriyah.[19]
Ketiga, Ijazah (Pemberian izin), yaitu memberikan izin kepada seseorang untuk meriwayatkan sebuah hadits atau sebuah buku di bawah pengawasan seorang ahli tertentu yang telah memberikan izin tersebut, tanpa perlu membacakan buku tersebut kepadanya terlebih dahulu. Sampai abad ketiga, sukar ditemukan suatu indikasi system ijazah, tetapi metode ini dipakai cukup luas. Ada perbedaan opini tentang keabsahan metode ini.[20]
Keempat, Munawalah (memberikan buku kepada seorang murid).[21] Praktik ini sudah dilakukan pada paruh kedua abad pertama hijrah, seperti Zuhri (51 –124 H) memberikan manuskripnya kepada sejumlah ahli seperti al-Tsauri, al-Awza’I, dan Ubaidillah ibn Umar. Dan cara ini bukanlah suatu praktik yang umum dipakai di awal masa kelahiran Islam.[22]
Kelima, Kitabah (korespondensi), yaitu seorang hadits menuliskan hadits yang diriwayatkanya untuk diberikan kepada orang tertentu untuk diriwayatkan.[23]  Praktik metode ini sudah cukup dikenal pada masa-masa awal kelahiran Islam dan diduga cara ini digunakan paling pertama sekali. Hal ini dapat dilihat dari surat-surat kenegaraan khulafaur rasyidin memuat sejumlah hadits yang diriwayatkan oleh para ahli. Disamping beberapa sahabat, sejumlah ahli menulis hadits-hadits dan mengirimkanya kepada murid-murid mereka, seperti halnya Ibn Abbas yang menulis kepada Abu Mulaikah dan Najdah.[24]
Keenam, I’lam (memberikan informasi tentang hadits), yaitu seorang guru hadits memberikan informasi kepada seseorang bahwa pemberi informasi telah memberikan izin kepadanya untuk meriwayatkan sebuah buku tertentu di bawah bimbingan para ahli. Dan gambaran metode ini sudah dilacak di awal masa periode Islam. [25]
Ketujuh, washiyah yaitu: mewariskan buku kepada seseorang yang dapat meriwayatkan di bawah bimbingan dan kewenangan orang yang memberikan washiyah tersebut. Sebagai contoh Abu Qilabah (w.104 H) yang mewariskan buku-buku haditsnya kepada Ayyub al-Syaukani.[26]
Kedelapan, wajadah yaitu: seseorang menemukan buku hadits orang lain tanpa ada rekomendasi perizinan untuk meriwayatkan di bawah bimbingan dan kewenangan seseorang. Cara ini tidak diakui keberadaanya dalam pengajaran hadits, akan tetapi praktik ini dapat ditemukan pada masa awal Islam, sebagi contoh adalah buku Sa’ad ibn ubaidah (w.15 H).[27]

C Bentuk-bentuk Periwayatan Hadits dengan Lafal dan Makna
Dalam studi periwayatan hadits, persoalan bentuk periwayatan juga menjadi isu yang krusial. Hal ini karena perdebatan masalah tersebut juga berimplikasi terhadap keautentikan suatu hadits. Dengan demikian apakah periwayatan suatu hadits harus dengan lafadz (teks) yang persis disampaikan Nabi SAW ataukah cukup dengan maknanya saja, menjadi isu penting di kalangan ulama hadits.
Pada zaman Nabi Muhammad saw, periwayatan hadits banyak berlangsung secara oral (lisan) berdasarkan hafalan masing-masing sahabat. Mengingat intelektualitas mereka dalam menerima dan menyampaikan suatu hadits berbeda-beda, maka muncullah dua bentuk periwayatan hadits, yaitu periwayatan secara lafal (ar-riwayah bi al-lafdz) dan periwayatan secara makna (ar-riwayah bi al-ma’na).

1.      Periwayatan Hadits dengan Lafadz.
Periwayatan hadits secara lafal (ar-riwayah bi al-lafz) ialah “ seorang perawi menyampaikan hadits secara leterlek yaitu dengan lafal yang di terimanya, tanpa ada perubahan, penggantian, penambahan maupun pengurangan sedikitpun.[28]
Periwayatan hadits dengan lafadz adalah periwayatan hadits dengan menggunakan lafadz sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata, penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata.
Diantara ulama yang menekankan periwayatan hadis dengan lafaz dan menolak periwayatan hadits dengan makna adalah Muhammad ibn Sirin, Abu Bakar al-Razy dan Raja’ ibn Hayuh. Mereka tidak membolehkan meriwayatkan hadits kecuali dengan lafadz dari Nabi, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Bahkan ada yang berpendapat bahwa seorang rawi harus menyampaikan apa yang didengarnya dari gurunya sekalipun gurunya itu salah atau keliru dalam ejaannya.[29] Ibn Shalah sebagaimana dikutip dalam Ibn Katsir menyebut mereka sebagai “Madzhab Pengikut Lafadz yang Ejstrim”.[30]
Hadis Nabi yang dimungkinkan diriwayatkan secara lafal (ar-riwayah bi al-lafd) oleh sahabat Nabi sebagai saksi pertama, hanyalah hadits yang dalam bentuk sabda (hadits qauliyyah), dan inipun sangat sulit dilakukan kecuali untuk sabda-sabda tertentu[31]
Selanjutnya ulama’ ahli hadits sepakat akan keharusan periwayatan hadits secara lafal untuk hadits –hadits berikut ini:
1.      Hadits-hadits yang berkaitan dengan penyebutan-penyebutan nama-nama Allah dan sifat-sifatn-Nya. Mereka memandangnya sebagai sebagai suatu hal yang tauqifiy dan tidak boleh diganti dengan kalimat atau kata lain walaupun sepadan.
2.      Hadits-hadits yang mengandung lafal-lafal yang dianggap ibadah (ta’abbudiya) misalnya hadits-hadits do’a.
3.      Hadits-hadits tentang jawami’ al-kalim, yakni ungkapan pendek sarat makna yang mengandung nilai balaghoh yang tinggi dan periwayatannya secara makna tidak mungkin bisa mewakili seluruh kandungan makna hadits  yang dimaksud.
4.      Hadits-hadits yang berkaitan dengan lafal-lafal ibadah, misalnya hadits tentang azan, iqamat, takbir, shalat, sighat syahadat, dan sighat akat.[32]
Perlu ditegaskan pula, ulama’ ahli hadits sepakat bahwa menjaga lafal hadits, menyampaikannya sesuai dengan lafal yang diterima dan didengarnya, tanpa merubah, mengganti huruf atau kata, adalah lebih utama daripada periwayatannya secara makna. Hal ini karena kalam Nabi adalah perkataan yang mengandung fashahah dan balaghah yang tidak ada bandingannya. Dan periwayatan secara makna otomatis akan menimbulkan perbedaan redaksi (dari redaksi semula dan antara periwayat yang berbeda).Bahkan redaksi hadits ini ada yang menyebabkan perbedaan makna atau maksud hadits.[33]

2.      Periwayatan Hadits dengan Makna.
Periwayatan hadits secara makna (ar-riwayah bi ma’na) ialah seorang perawi menyampaikan hadits yang diterimanya dengan menggunakan lafal dari dirinya sendiri, baik keseluruhan maupun sebagian saja, dengan tetap menjaga artinya tanpa menghilangkan apapun apabila dibandingkan dengan hadits yang diriwayatkan secara lafal atau sesuai dengan teks aslinya.[34]
Jelasnya periwayatan dengan makna yaitu meriwayatkan hadits dengan lafadz yang disusun perawi sendiri sesuai dengan makna yang dicakup oleh ucapan, perbuatan dan takrir ataupun sifat nabi saw.[35] Dan periwayatan hadits bil al-makna yang diperselisihkan para ulama adalah hadits qauly atau perkataan Rosulullah yang diriwayatkan oleh para sahabat dengan maknanya saja, tidak sebagaimana dilafalkan oleh Nabi Muhammad saw.
 Adapun yang membolehkan Periwayatan Hadits bi al-Makna memberikan persyaratan khusus, yaitu : Pertama, Para perawi harus mengetahui secara baik kosa kata bahasa Arab sehingga ia dapat membedakan mana lafazh yang mendukung makna hadits yang diriwayatkan dan mana yang tidak, dan bahkan dapat membedakan secara cermat diantara lafazh-lafazh yang hampir sama dalalahnya.[36] Kedua, perawi benar-benar lupa lafazh-nya dan ingat maknanya sedang dia harus menyampaikan hukum yang dikandungnya.[37] Ketiga, lafazh hadits itu bukan lafazh yang bernilai ibadah seperti adzan, iqamah, tasyahud dan lain-lain, dan bukan pula merupakan ajaran yang prinsipil (jawami’ al-Kalim);[38] dan Keempat, memang dimungkinkan untuk mengganti lafazh dengan padanannya (sinonim) yang tidak akan membawa perbedaan pengertian dari maksud lafazh semula.[39]
 Disamping pendapat diatas ulama Mutaakhirin diantaranya Mahmud ibn Abu Rayyah yang sebagaimana dikutip Ajaj al-Khatib dalam bukunya Adhawa’ ‘Ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, berpendapat, bahwa; hadits-hadits Rasulullah baru diriwayatkan oleh sebagian sahabat jauh setelah nabi wafat. Ia mengakui bahwa periwayatan hadits dengan makna tak dapat dihindari. Menurutnya disebabkan karena perawi tak sanggup lagi mengungkapkan bunyi lafal yang asli sesuai dengan ucapan Nabi.[40]
 Meskipun demikian, jumhur ulama sepakat tentang perlunya memelihara lafadz hadits dan nash-nya yang asli seperti yang diucapkan oleh Nabi. Para ulama juga sepakat tentang tidak bolehnya periwayatan hadits oleh perawi yang tidak mengetahui secara cermat akan lafadz dan dalalahnya, yang tidak dapat mengungkapkan makna yang dikandungnya, dan yang tak teliti terhadap perbedaan-perbedaan secara cermat dari lafadz-lafadz mutaridifat.[41] Jadi mereka menginginkan periwayatan hadits dengan lafadz asli dari Nabi. Mereka hanya membolehkan periwayatan dengan makna dengan persyaratan-persyaratan yang ketat.

D Sikap Para Sahabat Terhadap Periwayatan Hadits dengan Lafal dan Makna
Tentang hokum ar-riwayah bi al-ma’na pada masa sebelum dibukukannya (tadwin) hadits secara resmi, ulama’ berbeda pendapat. Mayoritas ulama’ membolehkan periwayatan secara makna bagi orang yang telah memenuhi syarat, diantaranya harus mempunyai kemampuan bahasa yang mendalam, sedangkan bagi periwayat yang tidak memenuhi syarat yang ditentukan, mereka sepakat akan keharusannya untuk meriwayatkan hadits sesuai dengan lafal yang diterima.
 Penganut madzhab ini bermaksud untuk meringankan beban dan kesulitan para periwayat dalam meriwayatkan hadits. Jika periwayat dituntut untuk meriwayatkan hadits sesuai dengan lafal asli seperti ketika hadits itu diterima, sedangkan catatan hadits tidak ada pada mereka, maka demikian itu akan mempersulit mereka. Alasan lain secara ijma’ ulama’ membolehkan penerjemahan hadits dari bahasa arab ke bahasa asing (al-lughah al-a’jamiyyah) bagi orang yang mengetahui bahasa tersebut. Logikanya,jika penerjemahan ke dalam bahasa asing saja diperbolehkan, maka penerjemahan (perubahan) ke dalam bahasa arab sendiri dengan lafal yang semakna berarti lebih baik. Pendapat ini diikuti oleh golongan sahabat dan tabiin diantaranya Ali bin Abi Talib, Abu Hurairah, Hasan al-Bashriy, Ibn Syihab az-Zuhriy dan lain-lain.[42]
Namun demikian, ada pula sekelompok ahli hadits, fiqh dan usul figh yang memandang tidak bolehnya periwayatan hadits secara makna, walaupun untuk periwayat yang telah memenuhi persyaratan. Mereka yang melaramg periwayatan secara makna ini bermaksud untuk mengatakan bahwa ar-riwayah bi al-ma’na itu mengundang munculnya at-tahrif dan at-tabdil yang menyebabkan munculnya at-taghyir (perubahan) sebagian maknanya. Diantara ulama’ penganut madzhab ini adalah al-Qasim, Muhammad bin Sirin, Al-Qadi’Ilyadl, Malik bin Anas, dan lainnya.[43]
Teks hadits juga merupakan rangkaian huruf, kata dan kalimat yang membentuk lafal-lafal tertentu. Dengan kata lain, teks hadits adalah teks bahasa. Sebagai sebuah teks bahasa, ia memiliki makna-makna yang terkait dengan struktur dan gaya bahasa yang digunakan, serta kosakata-kosakata yang dipilih. Bahasa adalah produk budaya. Setiap bahasa mempunyai latar belakang budaya. Tidak terkecuali bahasa Arab.
Transformasi suatu ide melalui simbol-simbol bahasa dan pemaknaannya oleh pembaca, sangat memungkinkan terjadinya keragaman, perbedaan, bahkan reduksi dan distorsi. Dengan demikian, keragaman pemaknaan menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa dinafikan.
Dari lafal yang sama, pemaknaannya bisa muncul berbeda-beda. Apalagi dalam periwayatan hadits boleh dilakukan dengan lafal yang berbeda untuk suatu makna yang dianggap sama. Seperti dinyatakan oleh Nuruddin ‘Itr, para sahabat dan mayoritas ulama memperkenankan periwayatan hadits dengan makna yang dipahaminya (arriwâyah bi al-ma’nâ), tidak harus sama persis dengan lafalnya.[44]
Sejak masa Nabi Saw, lafal hadits sangat memungkinkan munculnya ragam pemaknaan. Ragam pemaknaan ini didengar, dilihat dan diakui oleh Nabi sendiri (taqrîr). Untuk memperjelas pernyataan ini ada sebuah contoh yang selalu dikutip oleh ulama ushul fiqh ketika berbicara tentang ijtihâd pada masa Nabi Saw. Ketika para sahabat ra berangkat pulang dari perang Ahzâb, Nabi Saw berujar kepada mereka, “Siapapun tidak diperkenankan shalat Asar kecuali di kampung Bani Quraizhah ( yushalliyanna ahadun al-‘ashra illâ fî banî quraizhah)”.[45] Pada prakteknya, ketika sebagian sahabat di dalam perjalanan menuju kampung Bani Quraizhah menemukan waktu Asar hampir habis, mereka berselisih pendapat. Ada yang bersikukuh tidak akan shalat Asar di perjalanan, harus di kampung Bani Quraizhah seperti yang diperintahkan Nabi, sekalipun waktu habis. Ada yang memahami bahwa perintah itu untuk memacu agar mempercepat perjalanan, sementara shalat Asar harus tetap dilakukan di dalam waktu yang telah ditentukan.
Sebagian sahabat memaknai pernyataan Nabi persis seperti yang terungkap dalam lafal, yaitu hanya shalat di kampung Bani Quraizhah. Sementara sahabat lain memahami tujuan dari lafal tersebut, yaitu mempercepat perjalanan ke Bani Quraizhah bukan menangguhkan pelaksanaan shalat di luar waktunya. Artinya, pemaknaan tekstual dan kontekstual terhadap lafal hadits, sejak awal telah muncul dan dilakukan oleh para sahabat pada masa Nabi Saw.
Teks hadits adalah teks sejarah. Ia berkenaan dengan sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw, pernyataan, anjuran dan tindakan beliau. Sebagai sebuah teks sejarah, ia bersinggungan langsung dengan dinamika sosial masyarakat Arab pada masa hidup Nabi. Meminjam istilah para pemikir ‘Islamisasi ilmu pengetahuan’ seperti Taha Jabir al-‘Ulwani dan Abd al-Hamid Abu Sulayman, bahwa teks hadits tidak mengangkangi ruang dan waktu (lâ yat’âla alâ al-makân wa az-zamân). Ia muncul, hidup dan bermakna dengan konteksnya.
Teks hadits, dengan sifat demikian dipahami oleh beberapa ulama dengan melihat tujuan pokok dan akar persoalan yang terkandung. Pemahaman yang tersurat dari lafal teks menjadi tidak final dan tidak harus diberlakukan secara mutlak. Pemahaman literal hanya berlaku pada konteks munculnya saja. Ketika konteks sosial berubah, maka yang harus dikedepankan adalah tujuan pokok yang terkandung pada teks, bukan lafal teks.
Dengan demikian, memahami dan mengamalkan hadits harus melalui metodologi yang tepat, yang telah dibangun oleh para ulama terdahulu. Setiap hadits harus melalui pemilahan sanad, antara yang sahih dan yang tidak sahih. Kemudian dilakukan kritik matan, dengan penelitian dan penilaian terhadap kejanggalan (syudzûdz) dan kerancuan (‘illah) makna yang terkandung di dalamnya. Teks hadits yang memuat kejanggalan atau kerancuan makna, tidak dipertimbangkan untuk menjadi rujukan dalam pengambilan dan pemutusan hukum. Kontekstualisasi teks-teks hadits juga menjadi sebuah keniscayaan. Kontekstualisasi adalah pemaknaan yang menyatu dengan cita sosial Islam, yang terangkum dalam prinsip fundamental dan konseptual syarî’ah Islam. Karena fondasi utama bangunan syarî’ah Islam, seperti yang dinyatakan oleh Ibn al Q`yyim al-Jawzi adalah pada cita sosialnya: keadilan, kemaslahatan, kerahmatan dan kebijaksanaan untuk semua, tanpa membedakan jenis kelamin, ras dan suku bangsa.








BAB III
PENUTUP

Dari uraian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Periwayatan hadits secara lafal (ar-riwayah bi al-lafz) ialah “ seorang perawi menyampaikan hadits secara leterlek yaitu dengan lafal yang di terimanya, tanpa ada perubahan, penggantian, penambahan maupun pengurangan sedikitpun. Sedang Periwayatan hadits secara makna (ar-riwayah bi ma’na) ialah seorang perawi menyampaikan hadits yang diterimanya dengan menggunakan lafal dari dirinya sendiri, baik keseluruhan maupun sebagian saja, dengan tetap menjaga artinya tanpa menghilangkan apapun apabila dibandingkan dengan hadits yang diriwayatkan secara lafal atau sesuai dengan teks aslinya.
2. Metode periwayatan hadits ada delapan macam yaitu : (1) al-sama’ min lafzh al-syaikh; (2) al-qira’ah ala syaikh; (3) al-ijazah; (4) al-munawalah; (5) al-mukatabah; (6) al-‘i’lam; (7) alwasiyah; (8) al-wijadah.
3. Pada zaman Nabi Muhammad saw, periwayatan hadits banyak berlangsung secara oral (lisan) berdasarkan hafalan masing-masing sahabat. Mengingat intelektualitas mereka dalam menerima dan menyampaikan suatu hadits berbeda-beda, maka muncullah dua bentuk periwayatan hadits, yaitu periwayatan secara lafal (ar-riwayah bi al-lafdz) dan periwayatan secara makna (ar-riwayah bi al-ma’na
4. Mayoritas ulama’ membolehkan periwayatan secara makna bagi orang yang telah memenuhi syarat, diantaranya harus mempunyai kemampuan bahasa yang mendalam, sedangkan bagi periwayat yang tidak memenuhi syarat yang ditentukan, mereka sepakat akan keharusannya untuk meriwayatkan hadits sesuai dengan lafal yang diterima.




DAFTAR PUSTAKA

Al Hafidz Ibn Katsir, Al Baits al-Hatsits fi Ikhtishari ilm al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
At-Taziy Mustofa Amin Ibrahin, Muhadlarat fi “ulum al-hadits.
Butrus al-Bustaniy, Kitab al-Quthr al-Muhith, Ttp: Maktabah Libnan, tt
Fathurahman, Ikhtisar Mustalahul Hadits, Bandung: Al-Ma’arif, 1974.
Hamim Ilyas & Suryadi (Ed.), Wacana Studi Hadis Kontemporer, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002
Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh taqrib an-NawawiBeirut: Dar Ihya’ as-Sunnah an-Nabawiyyah, 1399 H/ 1979 M.
Luis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah, Beirut: Dar al-Masyriq, 1973
M.M. Azami, Hadits Nabawi dan sejarah kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994)
Muhammad Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, alih bahasa Ali Audah, Bogor: Lentera Antar Nusa, 1992.
Muhammad Abu Zahw, al-Hadis wa al-Muhaditsun, Bairut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1984.
M. Musthafa al-Azami, Metode Kritik Hadis, alih bahasa A. Yamin, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992.
Musthafa al-Sibai, Sunnah dan Peranya Dalam penetapan Hukum Islam: Sebuah Pembelaan kaum Sunni, Penerjemah dan Pengantar edisi Indonesia Oleh Nurcholish Madjid, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993)
Muhammad al-Sabbagh, al-Hadits al-Nabawiy, Riyadh: Mansyurat al-Kutub al-Islamiy, 1972.
Muhammad Jamaluddin al-Qasimy, Qawa’id al-Tahdits, Tahqiq: Bahjah Baithar, Kairo Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, 1961.
Muhammad Ujjaj al-Khatib, As-Sunnah qabla at-Tadwin, bairut: Dar al-Fikr, 1981
Subhias-Shalih, Ulum al-hadis Wa Musthalahuh, Bairut: Dar ‘Ilm Li al-Malayin, 1988.
Sa’adullah Assa’ídi, Hadits-Hadits sekte, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
WJS Poerwadarminta, Kamus Umum bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1985.



[1] Sa’adullah Assa’ídi, Hadits-Hadits sekte, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 13
[2] Abdul Mustaqim, “Teori Sistem Isnad dan Otentisitas Hadis Menurut Perspektif Muhammad M. Al-‘Azami”, dalam Hamim Ilyas & Suryadi (Ed.), Wacana Studi Hadis Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. 55.
[3] Muhammad Ujjaj al-Khatib, As-Sunnah qabla at-Tadwin, (bairut: Dar al-Fikr, 1981), h. 355 – 357.
[4]  M.Syhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 21
[5]  Butrus al-Bustaniy, Kitab al-Quthr al-Muhith, (Ttp: Maktabah Libnan, tt), I: 820-821. Luis   Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1973), h.289.
[6]  M. Syuhudi Ismail, Kaedah, h. 21
[7]  M.Syuhudi Ismail, Kaedah, h. 21
[8]   Fathurahman, Ikhtisar Mustalahul Hadits, (Bandung: Al-Ma’arif, 1974), h. 29 – 45.
[9]   Mustofa Amin Ibrahin At-Taziy, Muhadlarat fi “ulum al-hadits.
[10]   Mustofa Amin Ibrahin At-Taziy, Muhadlarat fi “ulum al-hadits.

[11]   Fatchur Rahman, Ikhtishar Masilhalahul Hadis, (Bandung : Al-Ma’arif, 1995), h. 9-10.
[12]  Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, alih bahasa Ali Audah, (Bogor: Lentera    Antar Nusa, 1992), h. 79.
[13]   M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 25
[14]   Muhammad Abu Zahw, al-Hadis wa al-Muhaditsun, (Bairut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1984),    h.50.
[15]  Waryono Abdul Ghafur, “Epistimologi…”. h 10 – 11.
[16]  Waryono Abdul Ghafur, “Epitimologi Ilmu Hadis”, dalam Chamim Ilyas & Suryadi, Wacana Studi Hadis Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. 9.
[17]   M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan, h.
[18]   M.M. Al-Azami, Metodoligi , h. 38-39.
[19]  M.M. Al-Azam, Metodologi, h. 41
[20]   M.M Al-Azamai, Metodologi, h. 43.
[21]  M. Syuhudi Ismail, Kaedah, h. 58.
[22]  M.M al-Azami, Metodologi, h. 43
[23] M. Syuhudi Ismail, Kaedah, h. 58.
[24]  MM. Al-Azami, Metodologi, h. 43
[25]  MM.Al-Azamai, Metodologi, h. 44
[26] MM. Al-Azami, Metodologi, h. 44
[27]   MM.Al-Azami, Metodologi, h. 44.
[28]   Mustofa Amin Ibrahin At-Taziy, Muhadlarat fi “ulum al-hadits.
[29]   Subhi Shalih, Ulum al-hadis Wa Musthalahuh, h. 80 –81 dan Ajaj al-Khatib, al-Sunnah, h. 134
[30]   Al Hafidz Ibn Katsir, Al Baits al-Hatsits fi Ikhtishari ilm al-Hadits,( Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 140
[31] Salamah Noorhidayati, Diktat Ulumul Hadits, hal 26
[32] Salamah Noorhidayati, Diktat Ulumul Hadits, hal 27
[33] Ibid
[34]   Mustofa Amin Ibrahin At-Taziy, Muhadlarat fi “ulum al-hadits.
[35]   Fatchur Rahman, Ikhtishar Masilhalahul Hadis, (Bandung : Al-Ma’arif, 1995), h. 9-10.
[36]   Shubhi Shalih, Ulum al-hadis Wa Musthalahuh, h. 84
[37]   Muhammad Jamaluddin al-Qasimy, Qawa’id al-Tahdits, Tahqiq: Bahjah Baithar, (Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, 1961), h. 232
[38]   Mustofa Amin Ibrahin At-Taziy, Muhadlarat fi “ulum al-hadits.
[39]   Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, h. 251 –252,

[40]  Ajaj al-Khatib, al-Sunnah, hal, 138 – 139
[41]   Ajaj al-Khatib, al-Sunnah, hal. 108.
[42]   Mustofa Amin Ibrahin At-Taziy, Muhadlarat fi “ulum al-hadits

[43]   Mustofa Amin Ibrahin At-Taziy, Muhadlarat fi “ulum al-hadits
[44]   Nûr ad-Dîn ‘Itr, Manhaj an-Naqd fî ‘Ulûm al-Hadîts, 1985: Dar al-Fikr, Damaskus, hal. 227-230.
[45]   Riwayat al-Bukhari, no. hadits 946.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar