PERIWAYAN HADITS DENGAN LAFAL DAN MAKNANYA
Oleh : NARTO (sabdonarto@gmail.com)
BAB I
PENDAHULUAN
A Latar Belakang
Hadits merupakan sumber rujukan kedua dalam kajian
hukum Islam setelah al-Qur’an al-Karim. Oleh karena itu, kedudukan hadits
sangat signifikan dan urgen dalam Islam. Hanya saja urgensi dan signifikansi
hadits tidak mempunyai makna, manakala eksistensinya tidak didukung oleh uji
kualifikasi historis yang memadai dalam proses transmisinya (periwayatan).[1]
Dengan demikian, sebelum hadits itu menjadi rujukan yang merupakan sumber
dan landasan suatu istinbat hokum, maka uji kualifikasi historis untuk
menentukan otentik tidaknya hadits tersebut merupakan hal yang niscaya harus
dilakukan.
Kajian terhadap periwayatan hadits untuk menentukan
otentik-tidaknya sudah banyak dilakukan oleh para ahli baik klasik maupun
kontemporer. Dan kajian ini tidak saja dilakukan oleh para pemikir muslim
(insider) sendiri akan tetapi juga oleh para orientalis yang notabene
non-muslim (outsider). Para pengkaji hadits dari kalangan muslim yang cukup
kritis misalnya – untuk menyebut beberapa – Fazlur Rahman dari Indo Pakistan,
Muhammad al-Ghazali dan Yusuf Qardhawi dari Mesir, Muhammad Syahrur dari Syiria
dan M. Musthafa al-‘Azami dari India. Sedangkan dari kalangan Non-Muslim
(orientalis) kajian hadits dilakukan antara lain oleh Sprenger, Ignaz Goldziher,
Montgomery Watt, Joseph Scahact, dan sebagainya.[2]
Dan diakui maupun tidak, periwayatan hadits menjadi kajian yang problematik dan
menarik bagi para ahli, baik yang mengkajinya sebagai pembela maupun sebagai
penentangnya.
Dalam konteks historis, periwayatan hadits tidak
seberuntung al-Qur’an yang memang sejak awal telah dilakukan kodifikasi dan
pembukuan. Sementara kodifikasi al-hadits dilakukan lebih belakangan jauh
setelah wafatnya Nabi SAW.[3]
Dengan demikian periwayatan hadits menjadi problematik dan banyak mengundang
kritik dari para orientalis yang cukup tajam dan bahkan memandang apriori
terhadap otentisitasnya. Untuk itu, kajian dalam makalah ini ingin mengungkap
dan menelusuri pengertian periwayatan hadits dengan lafal dan makna, metode
periwayatan hadits dengan lafal dan makna, bentuk-bentuk periwayatan hadits
dengan lafal dan makna, dan sikap para sahabat terhadap periwayataan hadits
dengan lafal dan makna.
B Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut :
- Bagaimana pengertian periwayatan
hadits dengan lafal dan makna?
- Bagaimana metode periwayatan hadits
dengan lafal dan makna ?
- Bagaimana bentuk-bentuk periwayatan
hadits dengan lafal dan makna ?
- Bagaimana sikap para sahabat terhadap
periwayatan hadits dengan lafal dan makna ?
C Tujuan Pembahasan
Berdasarkan
rumusan masalah diatas maka penulis dapat menentukan tujuan pembahasan makalah
sebagai berikut :
- Ingin mengetahui pengertian
periwayatan hadits dengan lafal dan makna.
- Ingin mengetahui metode periwayan
hadits dengan lafal dan makan.
- Ingin mengetahui bentuk-bentuk
periwayatan hadits dengan lafal dan makna.
- Ingin mengetahui sikap para sahabat
terhadap periwayatan hadits dengan lafal dan makna.
BAB II
PEMBAHASAN
A Pengertian Periwayatan Hadits
dengan Lafal dan Makna
Sebelum
terhimpun dalam kitab-kitab hadits, hadits Nabi terlebih dahulu telah melalui
proses kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadis atau al-riwayah, yang dalam
bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan.[4]
Kata al-riwayah adalah masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti al-naql
(penukilan), al-zikr (penyebutan), al-fatl (pemintalan) dan al-istoqa’
(pemberian minum sampai puas).[5]
Sementara sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.[6]
Sementara secara istilah ilmu hadits, menurut M.
Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan al-riwayah adalah: “Kegiatan penerimaan dan
penyampaian hadits, serta penyandaran hadits itu kepada rangkaian para
periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadits
dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan hadits itu kepada orang
lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan
periwayatan hadits. Sekiranya orang tersebut menyampaikan hadits yang diterimanya
kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadits itu tidak menyebutkan
rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan
sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadits”.[7]
Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa point
penting yang harus ada dalam periwayatan hadits Nabi, yaitu; (1) orang yang
melakukan periwayatan hadits yang kemudian dikenal dengan ar-rawiy (periwayat),
(2) apa yang diriwayatkan (al-marwiy), (3) susunan rangkaian periwayat
(sanad/isnad), (4) kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal
dengan matan, dan (5) kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan
penyampaian hadis (at-tahamul wa ada al- hadits).[8]
Periwayatan hadits secara lafal (ar-riwayah bi
al-lafz) ialah “ seorang perawi menyampaikan hadits secara leterlek yaitu
dengan lafal yang di terimanya, tanpa ada perubahan, penggantian, penambahan
maupun pengurangan sedikitpun.[9]
Periwayatan hadits dengan lafadz adalah periwayatan
hadits dengan menggunakan lafadz sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran
kata, penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata.
Periwayatan hadits secara makna (ar-riwayah bi ma’na)
ialah seorang perawi menyampaikan hadits yang diterimanya dengan menggunakan
lafal dari dirinya sendiri, baik keseluruhan maupun sebagian saja, dengan tetap
menjaga artinya tanpa menghilangkan apapun apabila dibandingkan dengan hadits
yang diriwayatkan secara lafal atau sesuai dengan teks aslinya.[10]
Jelasnya periwayatan dengan makna yaitu meriwayatkan hadits
dengan lafadz yang disusun perawi sendiri sesuai dengan makna yang dicakup oleh
ucapan, perbuatan dan takrir ataupun sifat nabi saw.[11]
Dan periwayatan hadits bil al-makna yang diperselisihkan para ulama adalah
hadits qauly atau perkataan Rosulullah yang diriwayatkan oleh para sahabat
dengan maknanya saja, tidak sebagaimana dilafalkan oleh Nabi Muhammad saw.
B Metode Periwayatan Hadits dengan lafal dan makna
Sejak resmi diangkat menjadi Nabi dan utusan Allah
pada tahun 610 M yaitu dengan menerima
wahyu al-Qur’an, menjadi kewajiban Muhammad untuk menyampaikan apa yang
diterimanya tersebut kepada umatnya.[12]
Pada saat itulah tahapan dakwah dimulai karena adanya perintah tabligh dan
dengan begitu dimulai pula fase pertama terjadinya hadits. Permulaan terjadinya
hadis adalah seiring bersamaan dengan awal turunya wahyu. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa usia hadits adalah seusia al-Qur’an sendiri.[13]
Penyampaian
hadis oleh nabi pada awalnya berjalan apa adanya dan alamiyah, sesuai dengan
tugasnya dengan audiens sahabat sebagai penerimanya, tanpa melalui
syarat-syarat yang ketat atau dengan menggunakan kata-kata (alat) penyampai
yang sekarang disebut at-Tahamul wa al-ada’ yang rumit, kecuali bahwa sahabat
mendengar dan melihat ucapan dan praktik Nabi baik secara langsung maupun
tidak.[14]
Karena berbagai faktor dan seiring dengan semakin
menyebarnya sahabat, kesempatan mereka untuk menimba ilmu dan mengikuti Nabi
antar mereka tidak sama.[15]
Hal ini menjadikan pengetahuan mereka mengenai hadits nabi tidak sama. Diantara
meraka ada banyak menerima dan meriwayatkan hadits dan ada pula yang sedikit.
Semua tergantung pada kesibukan dan profesi mereka yang mendorong mereka untuk
eksis. Melihat fenomena ini, Nabi mendorong sahabatnya yang hadir dalam
majelisnya untuk menyampaikan kembali pada sahabat lain yang tidak hadir. Dari
dorongan nabi tersebut lahir emberio salah satu cabang ilmu hadits yaitu ilmu
riwayah.[16]
Seiring meluasnya dunia Muslim waktu itu, maka dalam penyebaran
hadits yang lebih intensif dan bisa dipertanggungjawabkan menuntut metode baru
dalam belajar mengajar hadits. Dalam konteks ini, pada umumnya, ulama membagi
metode periwayatan hadits kepada delapan macam: (1) al-sama’ min lafzh
al-syaikh; (2) al-qira’ah ala syaikh; (3) al-ijazah; (4) al-munawalah; (5) al-mukatabah;
(6) al-‘i’lam; (7) alwasiyah; (8) al-wijadah.
Pertama, sama’. Yaitu seorang guru membacakan hadits
untuk muridnya. Cara ini mencakup bentuk berikut: membaca secara lisan, membaca
dari buku-buku, tanya jawab, dan dikte.[17] Cara
ini tersebar luas pada masa Sahabat.[18]
Kedua, al-qiraah ala al-syaikh atau biasa disebut
dengan qiraah atau ardh adalah periwayat menghadapkan riwayat hadits kepada
guru hadits dengan cara periwayat sendiri yang membacanya atau orang lain yang
membacakanya dan dia mendengarkan. Riwayat hadits yang dibacanya itu dapat
berasal dari catatanya, atau dapat juga dari hafalanya. Guru hadits yang
disodori bacaan tadi aktif menyimaknya melalui hafalanya sendiri atau melalui
catatan yang paling teliti yang ada padanya. Dan metode ini merupakan praktik
yang sangat umum semenjak awal abad kedua Hijriyah.[19]
Ketiga, Ijazah (Pemberian izin), yaitu memberikan izin
kepada seseorang untuk meriwayatkan sebuah hadits atau sebuah buku di bawah
pengawasan seorang ahli tertentu yang telah memberikan izin tersebut, tanpa
perlu membacakan buku tersebut kepadanya terlebih dahulu. Sampai abad ketiga,
sukar ditemukan suatu indikasi system ijazah, tetapi metode ini dipakai cukup
luas. Ada perbedaan opini tentang keabsahan metode ini.[20]
Keempat, Munawalah (memberikan buku kepada seorang
murid).[21]
Praktik ini sudah dilakukan pada paruh kedua abad pertama hijrah, seperti Zuhri
(51 –124 H) memberikan manuskripnya kepada sejumlah ahli seperti al-Tsauri,
al-Awza’I, dan Ubaidillah ibn Umar. Dan cara ini bukanlah suatu praktik yang
umum dipakai di awal masa kelahiran Islam.[22]
Kelima, Kitabah (korespondensi), yaitu seorang hadits
menuliskan hadits yang diriwayatkanya untuk diberikan kepada orang tertentu
untuk diriwayatkan.[23] Praktik metode ini sudah cukup dikenal pada masa-masa
awal kelahiran Islam dan diduga cara ini digunakan paling pertama sekali. Hal
ini dapat dilihat dari surat-surat kenegaraan khulafaur rasyidin memuat
sejumlah hadits yang diriwayatkan oleh para ahli. Disamping beberapa sahabat,
sejumlah ahli menulis hadits-hadits dan mengirimkanya kepada murid-murid
mereka, seperti halnya Ibn Abbas yang menulis kepada Abu Mulaikah dan Najdah.[24]
Keenam, I’lam (memberikan informasi tentang hadits),
yaitu seorang guru hadits memberikan informasi kepada seseorang bahwa pemberi
informasi telah memberikan izin kepadanya untuk meriwayatkan sebuah buku
tertentu di bawah bimbingan para ahli. Dan gambaran metode ini sudah dilacak di
awal masa periode Islam. [25]
Ketujuh, washiyah yaitu: mewariskan buku kepada
seseorang yang dapat meriwayatkan di bawah bimbingan dan kewenangan orang yang
memberikan washiyah tersebut. Sebagai contoh Abu Qilabah (w.104 H) yang
mewariskan buku-buku haditsnya kepada Ayyub al-Syaukani.[26]
Kedelapan,
wajadah yaitu: seseorang menemukan buku hadits orang lain tanpa ada rekomendasi
perizinan untuk meriwayatkan di bawah bimbingan dan kewenangan seseorang. Cara
ini tidak diakui keberadaanya dalam pengajaran hadits, akan tetapi praktik ini
dapat ditemukan pada masa awal Islam, sebagi contoh adalah buku Sa’ad ibn ubaidah
(w.15 H).[27]
C Bentuk-bentuk Periwayatan Hadits dengan Lafal
dan Makna
Dalam studi periwayatan hadits, persoalan bentuk
periwayatan juga menjadi isu yang krusial. Hal ini karena perdebatan masalah
tersebut juga berimplikasi terhadap keautentikan suatu hadits. Dengan demikian
apakah periwayatan suatu hadits harus dengan lafadz (teks) yang persis
disampaikan Nabi SAW ataukah cukup dengan maknanya saja, menjadi isu penting di
kalangan ulama hadits.
Pada zaman Nabi Muhammad saw, periwayatan hadits banyak
berlangsung secara oral (lisan) berdasarkan hafalan masing-masing sahabat.
Mengingat intelektualitas mereka dalam menerima dan menyampaikan suatu hadits
berbeda-beda, maka muncullah dua bentuk periwayatan hadits, yaitu periwayatan
secara lafal (ar-riwayah bi al-lafdz) dan periwayatan secara makna (ar-riwayah
bi al-ma’na).
1.
Periwayatan Hadits dengan
Lafadz.
Periwayatan hadits secara lafal (ar-riwayah bi
al-lafz) ialah “ seorang perawi menyampaikan hadits secara leterlek yaitu
dengan lafal yang di terimanya, tanpa ada perubahan, penggantian, penambahan
maupun pengurangan sedikitpun.[28]
Periwayatan hadits dengan lafadz adalah periwayatan
hadits dengan menggunakan lafadz sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran
kata, penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata.
Diantara ulama yang menekankan periwayatan hadis
dengan lafaz dan menolak periwayatan hadits dengan makna adalah Muhammad ibn
Sirin, Abu Bakar al-Razy dan Raja’ ibn Hayuh. Mereka tidak membolehkan
meriwayatkan hadits kecuali dengan lafadz dari Nabi, tidak boleh ditambah atau
dikurangi. Bahkan ada yang berpendapat bahwa seorang rawi harus menyampaikan
apa yang didengarnya dari gurunya sekalipun gurunya itu salah atau keliru dalam
ejaannya.[29] Ibn
Shalah sebagaimana dikutip dalam Ibn Katsir menyebut mereka sebagai “Madzhab Pengikut
Lafadz yang Ejstrim”.[30]
Hadis Nabi yang dimungkinkan diriwayatkan secara lafal
(ar-riwayah bi al-lafd) oleh sahabat Nabi sebagai saksi pertama, hanyalah
hadits yang dalam bentuk sabda (hadits qauliyyah), dan inipun sangat sulit
dilakukan kecuali untuk sabda-sabda tertentu[31]
Selanjutnya ulama’ ahli hadits sepakat akan keharusan
periwayatan hadits secara lafal untuk hadits –hadits berikut ini:
1.
Hadits-hadits
yang berkaitan dengan penyebutan-penyebutan nama-nama Allah dan
sifat-sifatn-Nya. Mereka memandangnya sebagai sebagai suatu hal yang tauqifiy
dan tidak boleh diganti dengan kalimat atau kata lain walaupun sepadan.
2.
Hadits-hadits
yang mengandung lafal-lafal yang dianggap ibadah (ta’abbudiya) misalnya
hadits-hadits do’a.
3.
Hadits-hadits
tentang jawami’ al-kalim, yakni ungkapan pendek sarat makna yang mengandung
nilai balaghoh yang tinggi dan periwayatannya secara makna tidak mungkin bisa
mewakili seluruh kandungan makna hadits
yang dimaksud.
4.
Hadits-hadits
yang berkaitan dengan lafal-lafal ibadah, misalnya hadits tentang azan, iqamat,
takbir, shalat, sighat syahadat, dan sighat akat.[32]
Perlu ditegaskan pula, ulama’ ahli hadits sepakat
bahwa menjaga lafal hadits, menyampaikannya sesuai dengan lafal yang diterima
dan didengarnya, tanpa merubah, mengganti huruf atau kata, adalah lebih utama
daripada periwayatannya secara makna. Hal ini karena kalam Nabi adalah
perkataan yang mengandung fashahah dan balaghah yang tidak ada bandingannya.
Dan periwayatan secara makna otomatis akan menimbulkan perbedaan redaksi (dari
redaksi semula dan antara periwayat yang berbeda).Bahkan redaksi hadits ini ada
yang menyebabkan perbedaan makna atau maksud hadits.[33]
2.
Periwayatan Hadits dengan
Makna.
Periwayatan hadits secara makna (ar-riwayah bi ma’na)
ialah seorang perawi menyampaikan hadits yang diterimanya dengan menggunakan
lafal dari dirinya sendiri, baik keseluruhan maupun sebagian saja, dengan tetap
menjaga artinya tanpa menghilangkan apapun apabila dibandingkan dengan hadits
yang diriwayatkan secara lafal atau sesuai dengan teks aslinya.[34]
Jelasnya periwayatan dengan makna yaitu meriwayatkan
hadits dengan lafadz yang disusun perawi sendiri sesuai dengan makna yang
dicakup oleh ucapan, perbuatan dan takrir ataupun sifat nabi saw.[35]
Dan periwayatan hadits bil al-makna yang diperselisihkan para ulama adalah hadits
qauly atau perkataan Rosulullah yang diriwayatkan oleh para sahabat dengan
maknanya saja, tidak sebagaimana dilafalkan oleh Nabi Muhammad saw.
Adapun yang
membolehkan Periwayatan Hadits bi al-Makna memberikan persyaratan khusus, yaitu
: Pertama, Para perawi harus mengetahui secara baik kosa kata bahasa Arab
sehingga ia dapat membedakan mana lafazh yang mendukung makna hadits yang
diriwayatkan dan mana yang tidak, dan bahkan dapat membedakan secara cermat
diantara lafazh-lafazh yang hampir sama dalalahnya.[36]
Kedua, perawi benar-benar lupa lafazh-nya dan ingat maknanya sedang dia harus
menyampaikan hukum yang dikandungnya.[37]
Ketiga, lafazh hadits itu bukan lafazh yang bernilai ibadah seperti adzan,
iqamah, tasyahud dan lain-lain, dan bukan pula merupakan ajaran yang prinsipil
(jawami’ al-Kalim);[38]
dan Keempat, memang dimungkinkan untuk mengganti lafazh dengan padanannya
(sinonim) yang tidak akan membawa perbedaan pengertian dari maksud lafazh
semula.[39]
Disamping
pendapat diatas ulama Mutaakhirin diantaranya Mahmud ibn Abu Rayyah yang
sebagaimana dikutip Ajaj al-Khatib dalam bukunya Adhawa’ ‘Ala al-Sunnah
al-Muhammadiyah, berpendapat, bahwa; hadits-hadits Rasulullah baru diriwayatkan
oleh sebagian sahabat jauh setelah nabi wafat. Ia mengakui bahwa periwayatan
hadits dengan makna tak dapat dihindari. Menurutnya disebabkan karena perawi
tak sanggup lagi mengungkapkan bunyi lafal yang asli sesuai dengan ucapan Nabi.[40]
Meskipun
demikian, jumhur ulama sepakat tentang perlunya memelihara lafadz hadits dan
nash-nya yang asli seperti yang diucapkan oleh Nabi. Para ulama juga sepakat
tentang tidak bolehnya periwayatan hadits oleh perawi yang tidak mengetahui
secara cermat akan lafadz dan dalalahnya, yang tidak dapat mengungkapkan makna
yang dikandungnya, dan yang tak teliti terhadap perbedaan-perbedaan secara
cermat dari lafadz-lafadz mutaridifat.[41]
Jadi mereka menginginkan periwayatan hadits dengan lafadz asli dari Nabi.
Mereka hanya membolehkan periwayatan dengan makna dengan
persyaratan-persyaratan yang ketat.
D Sikap Para Sahabat Terhadap Periwayatan Hadits dengan Lafal dan
Makna
Tentang hokum ar-riwayah bi al-ma’na pada masa sebelum
dibukukannya (tadwin) hadits secara resmi, ulama’ berbeda pendapat. Mayoritas
ulama’ membolehkan periwayatan secara makna bagi orang yang telah memenuhi
syarat, diantaranya harus mempunyai kemampuan bahasa yang mendalam, sedangkan
bagi periwayat yang tidak memenuhi syarat yang ditentukan, mereka sepakat akan
keharusannya untuk meriwayatkan hadits sesuai dengan lafal yang diterima.
Penganut madzhab ini bermaksud untuk
meringankan beban dan kesulitan para periwayat dalam meriwayatkan hadits. Jika
periwayat dituntut untuk meriwayatkan hadits sesuai dengan lafal asli seperti
ketika hadits itu diterima, sedangkan catatan hadits tidak ada pada mereka,
maka demikian itu akan mempersulit mereka. Alasan lain secara ijma’ ulama’
membolehkan penerjemahan hadits dari bahasa arab ke bahasa asing (al-lughah
al-a’jamiyyah) bagi orang yang mengetahui bahasa tersebut. Logikanya,jika
penerjemahan ke dalam bahasa asing saja diperbolehkan, maka penerjemahan
(perubahan) ke dalam bahasa arab sendiri dengan lafal yang semakna berarti
lebih baik. Pendapat ini diikuti oleh golongan sahabat dan tabiin diantaranya
Ali bin Abi Talib, Abu Hurairah, Hasan al-Bashriy, Ibn Syihab az-Zuhriy dan
lain-lain.[42]
Namun demikian, ada pula sekelompok
ahli hadits, fiqh dan usul figh yang memandang tidak bolehnya periwayatan hadits
secara makna, walaupun untuk periwayat yang telah memenuhi persyaratan. Mereka
yang melaramg periwayatan secara makna ini bermaksud untuk mengatakan bahwa
ar-riwayah bi al-ma’na itu mengundang munculnya at-tahrif dan at-tabdil yang
menyebabkan munculnya at-taghyir (perubahan) sebagian maknanya. Diantara ulama’
penganut madzhab ini adalah al-Qasim, Muhammad bin Sirin, Al-Qadi’Ilyadl, Malik
bin Anas, dan lainnya.[43]
Teks
hadits juga merupakan rangkaian huruf, kata dan kalimat yang membentuk
lafal-lafal tertentu. Dengan kata lain, teks hadits adalah teks bahasa. Sebagai
sebuah teks bahasa, ia memiliki makna-makna yang terkait dengan struktur dan
gaya bahasa yang digunakan, serta kosakata-kosakata yang dipilih. Bahasa adalah
produk budaya. Setiap bahasa mempunyai latar belakang budaya. Tidak terkecuali
bahasa Arab.
Transformasi
suatu ide melalui simbol-simbol bahasa dan pemaknaannya oleh pembaca, sangat
memungkinkan terjadinya keragaman, perbedaan, bahkan reduksi dan distorsi.
Dengan demikian, keragaman pemaknaan menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa
dinafikan.
Dari
lafal yang sama, pemaknaannya bisa muncul berbeda-beda. Apalagi dalam
periwayatan hadits boleh dilakukan dengan lafal yang berbeda untuk suatu makna
yang dianggap sama. Seperti dinyatakan oleh Nuruddin ‘Itr, para sahabat dan
mayoritas ulama memperkenankan periwayatan hadits dengan makna yang dipahaminya
(arriwâyah bi al-ma’nâ), tidak harus sama persis dengan lafalnya.[44]
Sejak
masa Nabi Saw, lafal hadits sangat memungkinkan munculnya ragam pemaknaan.
Ragam pemaknaan ini didengar, dilihat dan diakui oleh Nabi sendiri (taqrîr).
Untuk memperjelas pernyataan ini ada sebuah contoh yang selalu dikutip oleh
ulama ushul fiqh ketika berbicara tentang ijtihâd pada masa Nabi
Saw. Ketika para sahabat ra berangkat pulang dari perang Ahzâb, Nabi Saw berujar
kepada mereka, “Siapapun tidak diperkenankan shalat Asar kecuali di kampung
Bani Quraizhah (lâ yushalliyanna ahadun al-‘ashra illâ fî banî
quraizhah)”.[45] Pada
prakteknya, ketika sebagian sahabat di dalam perjalanan menuju kampung Bani
Quraizhah menemukan waktu Asar hampir habis, mereka berselisih pendapat. Ada
yang bersikukuh tidak akan shalat Asar di perjalanan, harus di kampung Bani
Quraizhah seperti yang diperintahkan Nabi, sekalipun waktu habis. Ada yang
memahami bahwa perintah itu untuk memacu agar mempercepat perjalanan, sementara
shalat Asar harus tetap dilakukan di dalam waktu yang telah ditentukan.
Sebagian
sahabat memaknai pernyataan Nabi persis seperti yang terungkap dalam lafal,
yaitu hanya shalat di kampung Bani Quraizhah. Sementara sahabat lain memahami
tujuan dari lafal tersebut, yaitu mempercepat perjalanan ke Bani Quraizhah
bukan menangguhkan pelaksanaan shalat di luar waktunya. Artinya, pemaknaan
tekstual dan kontekstual terhadap lafal hadits, sejak awal telah muncul dan
dilakukan oleh para sahabat pada masa Nabi Saw.
Teks
hadits adalah teks sejarah. Ia berkenaan dengan sejarah kehidupan Nabi Muhammad
Saw, pernyataan, anjuran dan tindakan beliau. Sebagai sebuah teks sejarah, ia
bersinggungan langsung dengan dinamika sosial masyarakat Arab pada masa hidup
Nabi. Meminjam istilah para pemikir ‘Islamisasi ilmu pengetahuan’ seperti Taha
Jabir al-‘Ulwani dan Abd al-Hamid Abu Sulayman, bahwa teks hadits tidak
mengangkangi ruang dan waktu (lâ yat’âla alâ al-makân wa az-zamân). Ia
muncul, hidup dan bermakna dengan konteksnya.
Teks
hadits, dengan sifat demikian dipahami oleh beberapa ulama dengan melihat
tujuan pokok dan akar persoalan yang terkandung. Pemahaman yang tersurat dari
lafal teks menjadi tidak final dan tidak harus diberlakukan secara mutlak.
Pemahaman literal hanya berlaku pada konteks munculnya saja. Ketika konteks
sosial berubah, maka yang harus dikedepankan adalah tujuan pokok yang
terkandung pada teks, bukan lafal teks.
Dengan
demikian, memahami dan mengamalkan hadits harus melalui metodologi yang tepat,
yang telah dibangun oleh para ulama terdahulu. Setiap hadits harus melalui
pemilahan sanad, antara yang sahih dan yang tidak sahih.
Kemudian dilakukan kritik matan, dengan penelitian dan penilaian
terhadap kejanggalan (syudzûdz) dan kerancuan (‘illah) makna yang
terkandung di dalamnya. Teks hadits yang memuat kejanggalan atau kerancuan
makna, tidak dipertimbangkan untuk menjadi rujukan dalam pengambilan dan
pemutusan hukum. Kontekstualisasi teks-teks hadits juga menjadi sebuah
keniscayaan. Kontekstualisasi adalah pemaknaan yang menyatu dengan cita sosial
Islam, yang terangkum dalam prinsip fundamental dan konseptual syarî’ah Islam.
Karena fondasi utama bangunan syarî’ah Islam, seperti yang dinyatakan oleh Ibn
al Q`yyim al-Jawzi adalah pada cita sosialnya: keadilan, kemaslahatan,
kerahmatan dan kebijaksanaan untuk semua, tanpa membedakan jenis kelamin, ras
dan suku bangsa.
BAB
III
PENUTUP
Dari uraian dan
pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Periwayatan hadits secara lafal (ar-riwayah bi
al-lafz) ialah “ seorang perawi menyampaikan hadits secara leterlek yaitu
dengan lafal yang di terimanya, tanpa ada perubahan, penggantian, penambahan
maupun pengurangan sedikitpun. Sedang Periwayatan hadits secara makna (ar-riwayah
bi ma’na) ialah seorang perawi menyampaikan hadits yang diterimanya dengan
menggunakan lafal dari dirinya sendiri, baik keseluruhan maupun sebagian saja,
dengan tetap menjaga artinya tanpa menghilangkan apapun apabila dibandingkan
dengan hadits yang diriwayatkan secara lafal atau sesuai dengan teks aslinya.
2. Metode periwayatan hadits ada delapan macam yaitu :
(1) al-sama’ min lafzh al-syaikh; (2) al-qira’ah ala syaikh; (3) al-ijazah; (4)
al-munawalah; (5) al-mukatabah; (6) al-‘i’lam; (7) alwasiyah; (8) al-wijadah.
3. Pada zaman Nabi Muhammad saw, periwayatan hadits
banyak berlangsung secara oral (lisan) berdasarkan hafalan masing-masing
sahabat. Mengingat intelektualitas mereka dalam menerima dan menyampaikan suatu
hadits berbeda-beda, maka muncullah dua bentuk periwayatan hadits, yaitu
periwayatan secara lafal (ar-riwayah bi al-lafdz) dan periwayatan secara makna
(ar-riwayah bi al-ma’na
4. Mayoritas ulama’ membolehkan periwayatan secara
makna bagi orang yang telah memenuhi syarat, diantaranya harus mempunyai
kemampuan bahasa yang mendalam, sedangkan bagi periwayat yang tidak memenuhi
syarat yang ditentukan, mereka sepakat akan keharusannya untuk meriwayatkan
hadits sesuai dengan lafal yang diterima.
DAFTAR
PUSTAKA
Al Hafidz Ibn Katsir, Al Baits al-Hatsits fi
Ikhtishari ilm al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
At-Taziy Mustofa
Amin Ibrahin, Muhadlarat fi “ulum al-hadits.
Butrus
al-Bustaniy, Kitab al-Quthr al-Muhith, Ttp: Maktabah Libnan, tt
Fathurahman,
Ikhtisar Mustalahul Hadits, Bandung: Al-Ma’arif, 1974.
Hamim Ilyas & Suryadi (Ed.), Wacana Studi Hadis
Kontemporer, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002
Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi
Syarh taqrib an-NawawiBeirut: Dar Ihya’ as-Sunnah an-Nabawiyyah, 1399 H/ 1979
M.
Luis Ma’luf,
Al-Munjid fi al-Lughah, Beirut: Dar al-Masyriq, 1973
M.M. Azami, Hadits Nabawi dan sejarah kodifikasinya,
terj. Ali Mustafa Yaqub, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994)
Muhammad Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis,
Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, alih
bahasa Ali Audah, Bogor: Lentera Antar Nusa, 1992.
Muhammad Abu Zahw, al-Hadis wa al-Muhaditsun, Bairut:
Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1984.
M. Musthafa al-Azami, Metode Kritik Hadis, alih bahasa
A. Yamin, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992.
Musthafa al-Sibai, Sunnah dan Peranya Dalam penetapan
Hukum Islam: Sebuah Pembelaan kaum Sunni, Penerjemah dan Pengantar edisi
Indonesia Oleh Nurcholish Madjid, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993)
Muhammad al-Sabbagh, al-Hadits al-Nabawiy, Riyadh:
Mansyurat al-Kutub al-Islamiy, 1972.
Muhammad Jamaluddin al-Qasimy, Qawa’id al-Tahdits,
Tahqiq: Bahjah Baithar, Kairo Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, 1961.
Muhammad Ujjaj
al-Khatib, As-Sunnah qabla at-Tadwin, bairut: Dar al-Fikr, 1981
Subhias-Shalih,
Ulum al-hadis Wa Musthalahuh, Bairut: Dar ‘Ilm Li al-Malayin, 1988.
Sa’adullah
Assa’ídi, Hadits-Hadits sekte, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
WJS
Poerwadarminta, Kamus Umum bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1985.
[1]
Sa’adullah Assa’ídi, Hadits-Hadits sekte, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
h. 13
[2] Abdul Mustaqim, “Teori Sistem Isnad dan Otentisitas
Hadis Menurut Perspektif Muhammad M. Al-‘Azami”, dalam Hamim Ilyas &
Suryadi (Ed.), Wacana Studi Hadis Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2002), h. 55.
[3]
Muhammad Ujjaj al-Khatib, As-Sunnah qabla at-Tadwin, (bairut: Dar al-Fikr,
1981), h. 355 – 357.
[4] M.Syhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis Nabi,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 21
[5] Butrus al-Bustaniy, Kitab al-Quthr al-Muhith,
(Ttp: Maktabah Libnan, tt), I: 820-821. Luis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah, (Beirut: Dar
al-Masyriq, 1973), h.289.
[6] M. Syuhudi Ismail, Kaedah, h. 21
[7] M.Syuhudi Ismail, Kaedah, h. 21
[9] Mustofa Amin Ibrahin At-Taziy, Muhadlarat fi
“ulum al-hadits.
[10] Mustofa Amin Ibrahin At-Taziy, Muhadlarat fi
“ulum al-hadits.
[11] Fatchur Rahman, Ikhtishar Masilhalahul
Hadis, (Bandung : Al-Ma’arif, 1995), h. 9-10.
[12] Muhammad
Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, alih bahasa Ali Audah, (Bogor: Lentera Antar Nusa, 1992), h. 79.
[13] M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad
Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 25
[16] Waryono Abdul
Ghafur, “Epitimologi Ilmu Hadis”, dalam Chamim Ilyas & Suryadi, Wacana
Studi Hadis Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. 9.
[17] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan, h.
[20] M.M Al-Azamai, Metodologi, h. 43.
[21] M. Syuhudi Ismail, Kaedah, h. 58.
[22] M.M al-Azami, Metodologi, h. 43
[23] M. Syuhudi Ismail, Kaedah, h. 58.
[24] MM. Al-Azami, Metodologi, h. 43
[25] MM.Al-Azamai, Metodologi, h. 44
[26] MM. Al-Azami, Metodologi, h. 44
[27] MM.Al-Azami, Metodologi, h. 44.
[28] Mustofa Amin Ibrahin At-Taziy, Muhadlarat fi
“ulum al-hadits.
[29] Subhi Shalih, Ulum al-hadis Wa Musthalahuh,
h. 80 –81 dan Ajaj al-Khatib, al-Sunnah, h. 134
[30] Al Hafidz Ibn Katsir, Al Baits al-Hatsits fi
Ikhtishari ilm al-Hadits,( Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 140
[31] Salamah
Noorhidayati, Diktat Ulumul Hadits, hal 26
[32] Salamah
Noorhidayati, Diktat Ulumul Hadits, hal 27
[33] Ibid
[34] Mustofa Amin Ibrahin At-Taziy, Muhadlarat fi
“ulum al-hadits.
[35] Fatchur Rahman, Ikhtishar Masilhalahul Hadis,
(Bandung : Al-Ma’arif, 1995), h. 9-10.
[36] Shubhi Shalih, Ulum al-hadis Wa Musthalahuh,
h. 84
[37] Muhammad Jamaluddin al-Qasimy, Qawa’id
al-Tahdits, Tahqiq: Bahjah Baithar, (Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah,
1961), h. 232
[38] Mustofa Amin Ibrahin At-Taziy, Muhadlarat fi
“ulum al-hadits.
[39] Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, h. 251
–252,
[41] Ajaj al-Khatib, al-Sunnah, hal. 108.
[42] Mustofa Amin Ibrahin At-Taziy, Muhadlarat fi
“ulum al-hadits
[43] Mustofa Amin Ibrahin At-Taziy, Muhadlarat fi
“ulum al-hadits
[44] Nûr ad-Dîn ‘Itr, Manhaj an-Naqd fî ‘Ulûm
al-Hadîts, 1985: Dar al-Fikr, Damaskus, hal. 227-230.
[45] Riwayat al-Bukhari, no. hadits 946.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar