PEMIKIRAN DAN FILSAFAT IBNU TUFAIL
Oleh : Narto (sabdonarto@gmail.com)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Peradaban
Islam melahirkan banyak ahli filsafat yang ternama. Namun entah mengapa
filsafat dan kesusastraan Islam tetap dianggap sebagai satu kelompok yang
hilang dalam sejarah pemikiran manusia. Jangan heran bila dalam studi sejarah
pemikiran, lebih mengenal tokoh-tokoh yang berasal dari Yunani dan Barat
ketimbang dari Islam.[1]
Meskipun
para ulama Islam yang ahli di bidang pemikiran dan kebudayaan seperti seperti
al-Ghazali, Ibnu Thufayl, al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina dianggap brilian,
namun mereka tak mendapat tempat yang sewajarnya dibandingkan dengan tokoh
Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Hal ini dikarenakan beberapa ulama dan
sarjana kita, tampaknya kurang tertarik untuk mengkaji dan mengkomentari
sejumlah karya-karya ulama dan cendekiawan muslim terdahulu yang karyanya
monumental dan susah dicari tandingannya.[2] Di
antara pencapaian yang telah mereka peroleh adalah dalam ranah pemikiran
filsafat dan tasawwuf yang merupakan rantai yang paling kuat dalam mata rantai
yang menghubungkan antara filsafat Yunani, Timur dan Latin Barat, pencapaian
mereka semakin kokoh dan diakui terutama dalam kontribusi mereka yang telah
berhasil melakukan upaya mengkompromikan antara wahyu, akal dan intuisi serta
agama dan ilmu pengetahuan.[3]
Untuk
menunjukkan sisi dari kontribusi muslim Spanyol abad pertengahan dalam ranah filsafat
akan penulis ketengahkan nama Ibnu Thufayl yang merupakan tokoh filosof muslim
Neo-Platonis Spanyol yang telah mencapai orisinalitas karya yang sedemikian rupa
yang hidup pada masa pemerintahan dinasti Al-Muwahidin.[4] Ibnu
Thufayl memberikan gambaran tentang sebuah simpul social, yang mengubah urutan
situasi pikiran dari ketiadaan panca indera menuju kepada isolasi budaya.
Tujuan utama Ibnu Thufayl adalah untuk menunjukkan apa yang dapat ditemukan
oleh intelejensia manusia tanpa adanya bantuan dari pihak di luar dirinya yang
bersifat ketuhanan, yang menanamkan pengetahuan – penerimaan mengenai ide-ide
dan kecenderungan untuk secara aktif melakukan pencarian seperti yang telah
ditegaskan al-Ghazali terhadap dirinya sendiri dan apa yang telah dilakukan
oleh Aristoteles dengan menyusun sebuah premis ketika dia mengawali bukunya, Metaphysics,
dengan kata-kata, “seluruh manusia secara naluri ingin mencari tahu”.[5]
Pengetahuan yang dimiliki manusia melalui penginderaaan
terhadap alam sekitarnya, merupakan salah satu bentuk pengetahuan yang
ditekankan dan diakui oleh Al-Qur’an, dalam rangka mencari kebenaran. Allah SWT
berfirman : Q.S. Al-Baqarah ayat 164:
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera
yang berlayar di lautan membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang
diturunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi
sesudah mati (kering)nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan
pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh
(terdapat) tanda-tanda (kekuasaan) Allah bagi kaum yang berpikir.”[6]
Maka tidak ada keraguan lagi, bahwa maksud langsung
dari Al-Qur’an dengan pengamatan yang seksama tentang alam itu ialah untuk
membangkitkan kesadaran tentang segala sesuatu yang ada di alam itu dipandang
sebagai satu lambang dari kekuasaan-Nya. Hal ini sesuai dengan esensi serta
tujuan Ibnu Thufayl dalam novelnya, Hayy Ibnu Yaqzan.
Ibnu Tufail
berada di suatu tingkat yang ajaib dalam ilmunya, yakni berada dalam tingkat
mistik yang penuh kegembiraan. Beberapa orang menganggapnya sebagai
orang panties yaitu orang yang menganggap tidak ada beda lagi antara dirinya
dengan Tuhan. Anggapan ini ternyata salah. Ia sebenarnya hanya seperti juga Al
Gazali , merasa telah mencapai tingkat makrifat yang tinggi seperti katanya:
”Fakana makana mimma lastu adkuruhu. Fadhonnu khoiran wala tasal anil khobari.”
(terjadilah sesuatu yang tidak akan disebutkan akan tetapi sangkalah dia
sebagai suatu kebaikan juga, dan jangan tanya tentang beritanya).[7]
B. Rumusan Masalah
1.Bagaimana
sejarah hidup Ibnu Thufail?
2.Apa saja karya-karya Ibnu Thufail?
3.Bagaimana pemikiran atau ajaran filsafat Ibnu Thufail?
2.Apa saja karya-karya Ibnu Thufail?
3.Bagaimana pemikiran atau ajaran filsafat Ibnu Thufail?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah perjalan hidup Ibnu Thufail
2. Untuk mengetahui apa saja karya-karya Ibnu Thufail
3. Untuk mengetahui pemikiran dan filsafat yang dianut oleh Ibnu Thufail
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Sejarah Ibnu Thufail
Nama
lengkap Ibnu Thufail ialah Abu Bakar ibnu Abd Al-Malik ibn Muhammad ibnu
Thufail (أبو بكر بن عبد الملك بن محمد بن طفيل
القيسي الأندلسي. Ia
dilahirkan di Guadix (Arab : Wadi Asy), provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506
H/1110 M. dalam bahasa latin Ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer.[8]
Selain
terkdnal sebagai filosof muslim yang gemar menuangkan pemikirannya dalam
kisah-kisah ajaib dan penuh dengan kebenaran, ia juga seorang dokter, ahli
matematika dan kesusastraan. Karier Ibnu Thufail bermula sebagai dokter praktik
di Granada. Lewat ketenarannya sebagai dokter, ia diangkat menjadi sekretaris
Gubernur di provinsi tersebut. Pada tahun 1154 M (549 H). Ibnu Thufail menjadi
sekretaris pribadi Gubernur Cueta (Arab: Sabtah) dan Tangier (Arab : Thanjah /
Latin : Tanger) Abu Yaqub Yusuf al-Mansur, Khalifah kedua dari Dinasti
Muwahhidun (558 H / 1163 M – 580 H / 1184 M) selanjutnya menjadi dokter
pemerintah dan sekaligus menjadi qadhi.
Pada
masa khalifah Abu Yaquf Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam
pemerintahan. Pada pihak lain, khalifah sendiri mencintai ilmu pengetahuan dan
secara khusus adalah peminat filsafat serta memberi kebebasan berfilsafat.
Sikapnya itu menjadikan pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran filosofis dan
membuat Spanyol, seperti dikatakan R. Briffault sebagai “tempat kelahiran
kembali negeri Eropa”[9]
Kemudian
ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dokter pemerintah pada tahun 578 H
/ 1182 M, dikarenakan usianya yang sudah uzur. Kedudukannya itu digantikan oleh
Ibnu Rusd atas permintaan dari Ibnu Thufail. Tapi dia tetap mendapatkan
penghargaan dari Abu Yaqub dan setelah dia meninggal pada tahun 581 H / 1185 M)
di Marakesh (Maroko) dan dimakamkan disana, Al-Mansur sendiri hadir dalam
upacara pemakamannya.[10]
Para
ahli sejarah tidak dapat menuturkan keseluruhan latar belakang dari tokoh kita
ini disebabkan keterbatasan data. Tidak diketahui siapa saja keluarga dan
kerabat Ibnu Tufail. Lembaran sejarah mencatat bahwa Ibnu Tufail pada masa
hidupnya merupakan seorang tokoh yang cukup disegani dan berpengaruh.[11]
Namun bukan semua itu yang menjadikan nama Ibnu Tufail
dikenang dalam sejarah Islam bahkan sejarah dunia. Sebuah master-piece Ibn
Tofail berjudul "حي بن يقظان" Hayy ibnu Yagzan (“kehidupan anak
kesadaran”), di Barat dikenal sebagai: Philosophus Autodidactus) telah
menorehkan tinta emas di atas lembaran sejarah sebagai salah satu karya paling
berharga yang pernah ada di bidang filsafat.[12]
Dalam mengarang buku ini Ibnu Tufail banyak
terpengaruh filsafat Plato. Pemikhran-pemikiran filosofis Ibn Tofail ketika
menulis buku ini telah mencapai taraf yang paling matang. Ditulisnya
pemikiran-pemikirannya dalam bentuk novel alegori sembari menawarkan sebuah korelasi
filsafat antara akal dan agama dalam pencarian kebenaran hakiki.[13]
Buku ini menggunakan aktor utama seorang bayi buangan
yang terdampar di sebuah pulau tanpa seorangpun manusia. Sang bayi lalu
ditemukan oleh seekor rusa betina yang baru ditinggal mati anaknya, yang
kemudian mengasuh Hayy sebagai anaknya. Terciptalah hubungan anak-ibu antara
sang bayi dan sang rusa. Di sinalah awal petualangan pencarian hakikat Hayy.
Persentuhan antara teologi Islam yang dimiliki Ibnu Tufail dengan filsafat
Eropa telah menjadikan Hayy yang terlahir secara fitrah dapat meniru tingkah
laku sang ibu dan binatang-binatang lainnya. Dan Hayy bertahan hidup hanya
berandalkan insting yang dimilikinya.[14]
Seiring umur Hayy yang bertambah, akalnya berkembang.
Melalui perbandingan tingkah laku, ia mulai menyadari perbedaan antara dirinya
dan binatang-binatang sahabatnya, bahkan perbedaan dengan ibunya
sendiri. Lalu melalui pengamatan, berfikir dan kontemplasi, Hayy perlahan
menemukan insting kemanusiaannya. Ini semua membuka matanya dalam mengenali
hakikat semesta. [15]
Penghidupan Hayy kemudian berkembang mengikuti
masyarakat yang amat primitif itu mulai dari langkahnya yang pertama.
Dilihatnya semua hewan tertutup auratnya dengan kulit dan bulu, lalu ditirunya.
Diambilnya bulu-bulu burung dan daun-daun kayu guna menutup aurat. Pada suatu
hari terlihat oleh Hayy terjadi kebakaran dipulau itu, api itu diambilnya lalu
dinyalakannya kayu-kayu terus menerus dengan kayu itu di cobanya membakar
burung, lalu terasalah baginya makanannya yang lebih lezat setelah dimasak itu.
Dia mulai berburu hewan guna dimasak dan dimakan, guna teman berburu itu lalu
dipeliharanya seekor anjing, Makanan yang berlebih disimpan untuk hari
berikutnya. Dengan ini timbullah peradabannya yang pertama, pada suatu
hari kijang yang mengasuhnya sejak kecil sakit dan makin hari semakin lemah dan
akhirnya tidak bergerak lagi yaitu mati. Disamping susah, Hayy menjadi heran,
sebab belum pernah melihat seekor hewan mati dengan sendirinya tanpa
pembunuhan, akhirnya Hayy mulai memikirkan sungguh-sungguh mengapa ada
peristiwa kematian itu, kemudian badan kijang itu dioperasinya, diperiksanya
kalau-kalau ada anggota badannya yang rusak. Ternyata semua masih lengkap dan
akhirnya Hayy mengerti bahwa sebab kematian itu berada diluar badannya. Dia
bertanya, siapakah yang berkuasa diluar badannya itu? Dengan ini sampailah
pemikiran Hayy kepada pengakuan ketuhanan. Dia percaya kepada Tuhan, dan dia
tidak lagi mementingkan benar soal makan sebab akhirnya akan mati.[16]
Kelak di akhir cerita Hayy bertemu juga dengan hakikat
utama yang ia cari. Dari pemikiran filsafat yang tertuang dalam buku inilah
kemudian Barat menetapkan Ibnu Tufail sebagai pelopor konsep Autodidacticism
(pembelajaran mandiri -red) dan konsep Tabula Rasa
(fitrah -red).[17]
Buku ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
literatur Arab dan literatur Eropa, dan telah menjadi salah satu best-seller
yang sensasional di belahan barat Eropa sepanjang abad 17 hingga abad 18.
Pengaruh kuat dari buku ini juga tampak pada filsafat Islam klasik dan filsafat
modern Barat. Buku ini telah menjadi salah satu buku terpenting pencetus
lahirnya Revolusi Sains dan Pencerahan
Eropa. Filsafat yang tertuang dalam buku ini bisa dijumpai pada karya-karya
Thomas Hobbes, John Locke, Isaac Newton dan Imanuel Kant dalam berbagai variasi
dan derajat yang berbeda-beda. Buku ini pula yang kelak mengilhami cerita dan
kartun Mowgli yang kita kenal saat ini.[18]
B. Karya-Karya Ibnu
Tufail
Sejarah mencatat bahwa Ibnu Tufail dan Ibnu Rusyd
sering berbincang, berdebat dan saling evaluasi seputar masalah-masalah
kedokteran dan filsafat. Evaluasi dan perdebatan mereka yang khusus
membicarakan tentang kedokteran kemudian dicatat oleh Ibnu Tufail dalam
karyanya "مراجعات ومباحث" (Muraja'at wa Mabahits;
Revisi-revisi dan pembahasan -red). Lalu catatan tulisan ini oleh Ibnu Rusyd
dimasukkan menjadi bagian dari salah satu karangannya: "الكليات"
(al-Kulliyyat). Karya kedokteran lain dari Ibnu Tufail yang masih bisa
dinikmati adalah "الأرجوزة في الطب" (Arjuzah fi at-Thib) sepanjang 7700
bait, sekarang masih tersimpan di perpustakaan Jami' al-Qarawiyyin Fes - Maroko
dalam bentuk manuskrip.[19]
Selain mumpuni di bidang kedokteran, Ibnu Tufail juga
merupakan master bidang astronomi. Teori-teori briliannya di bidang ilmu
perbintangan secara ringkas dilukiskan oleh Lyon Goteh (?)-seorang orientalis
Perancis: "Walaupun tidak ditemukan tulisan-tulisan Ibnu Tufail di bidang
astronomi, namun kita tahu bahwa dia tidak setuju dengan teori system jagat raya
yang diletakkan Batlimus, bahkan Ibnu Tufail telah memiliki teori baru".
Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Ibn Rusyd bahwa Ibnu Tufail memiliki
teori-teori sensasional sekitar system jagat raya dan dasar-dasar
perputarannya.[20]
Miquel Casiri ( 1112 H/1710 M -1205 H/1790 M )
menyebutkan dua karya yang masih ada: risalah hay ibn yaqzan dan asrar Al
hikmah Al mashariqiyah, yang disebut terakhir ini berbentuk naskah. Kata
pengantar dari asrar menyebutkan bahwa risalah itu hanya merupakan satu bagian
dari risalah Hay Ibn Yaqzan, yang judul lengkapnya ialah Risalah Hayy Ibn
Yaqzan fi Asrar Al hikamat Al mashariqiyah.[21]
Beberapa karya Ibnu Tufail yang terkenal adalah sebuah
buku filsafat yang berjudul Hayy ibnu Yagzan (“kehidupan anak kesadaran”) karya
ini memang sama dengan buah karya Ibnu Sina yang diakunya sendiri berisikan
kebijaksanaan timur (Orental Wisdom). Kebijaksanaan timur pulalah yang menjadi
pokok pikiran Ibnu Tufail dalam buku ini. Seperti diakui Ibnu Tufail, pokok
pikiran ini bisa diidentifikasi sebagai tasawwuf yang kala itu ditolak oleh
kebanyakan filosof muslim termasuk Ibnu Bajjah. Diskursus rasional, menurut
para filosof anti tasawuf bertolak belakang dengan pengalaman mistis yang oleh
para ahli diyakini bersifat ektra rasional dan tak terperikan.[22]
C. Ajaran Filsafat Ibnu Tufail
1.
Tentang Dunia
Salah satu masalah filsafat adalah apakah dunia itu
kekal, atau diciptakan oleh tuhan dari ketiadaan atas kehendak-Nya? Dalam
filsafat Islam, Ibnu Tufail, sejalan dengan kemahiran dialektisnya, menghadapi
masalah itu dengan tepat. Tidak seperti pendahulunya, dia tidak menganut salah
satu doktrin saingannya, dan tidak
berusaha mendamaikan mereka. Di lain
pihak, dia mengecam dengan pedas para pengikut Aristoteles dan sikap-sikap
teologis. Kekekalan dunia melibatkan konsep eksistensi tak terbatas yang tak kurang
mustahilnya dibandingkan gagasan tentang rentangan tak terbatas. Eksistensi
seperti itu tidak lepas dari kejadian-kejadian yang diciptakan dan karena itu
tidak dapat mendahului mereka dalam hal waktu, dan yang tidak dapat sebelum
kejadian-kejadian yang tercipta itu pasti tercipta secara lambat laun. Begitu
pula konsep Creatio Ex Nihilo tidak dapat mempertahankan penelitiannya yang seksama.[23]
Sebagaimana Al-Ghazali, dia mengemukakan bahwa gagasan
mengenai kemaujudan sebelum ketidakmaujudan tidak dapat dipahami tanpa anggapan
bahwa waktu itu telah ada sebelum dunia ada, tapi waktu itu sendiri merupakan
suatu kejadian tak terpisahkan dari dunia, dan karena itu kemaujudan dunia di
kesampingkan lagi, segala yang tercipta pasti membutuhkan pencipta. Kalau
begitu mengapa sang pencipta menciptakan dunia saat itu bukan sebelumnya? Apakah
hal itu dikarenakan oleh suatu yang terjadi atas-Nya? Tentu saja tidak, sebab
tiada sesuatupun sebelum dia untuk membuat sesuatu terjadi atas-Nya. Apakah hal
itu mesti bersumber dari suatu perubahan yang terjadi atas sifat-Nya? Tapi
adakah yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut? Karena itu Ibnu Tufail tidak
menerima baik pandangan mengenai kekekalan maupun penciptaan sementara dunia ini.[24]
2.
Tentang Tuhan
Penciptaan dunia yang berlangsung lambat laun itu
mensyaratkan adanya satu pencipta, sebab dunia tak bisa maujud dengan
sendirinya. Juga, sang Pencipta bersifat immaterial, sebab materi yang
merupakan suatu kejadian dunia diciptakan oleh satu pencipta. Dipihak lain
anggapan bahwa Tuhan bersifat material akan membawa suatu kemunduran yang tiada
akhir yang adalah musykil. Oleh karena itu dunia ini pasti mempunyai
penciptanya yang tidak berwujud benda. Dan karena Dia bersifat immaterial, maka
kita tidak dapat mengenalNya lewat indera kita ataupun lewat imajinasi, sebab
imajinasi hanya menggambarkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh indera.[25]
Kekekalan dunia berarti kekekalan geraknya juga, dan
gerak sebagaimana dikatakan Aristoteles, membutuhkan penggerak atau penyebab
efisien dari gerak itu. Jika penyebab efisien ini berupa sebuah benda, maka
kekuatannya tentu terbatas dan karenanya tidak mampu menghasilkan suatu
pengaruh yang tidak terbatas. Oleh sebab itu penyebab efisien dari gerak kekal
harus bersifat immaterial. Ia tidak boleh dihubungkan dengan materi ataupun
dipisahkan darinya, ada di dalam materi itu atau tanpa materi itu, sebab
penyatuan dan pemisahan, keterkandungan atau keterlepasan merupakan tanda-tanda
material, sedang penyebab efisien itu, sesungguhnya lepas dari itu semua.[26]
Tuhan dan dunia yang keduanya kekal, bagaimana bisa
yang pertama dianggap sebagai penyebab adanya yang kedua? Dengan mengikuti
pandangan Ibnu Sina, Ibnu Thufail membuat perbedaan antara kekekalan dalam
esensi dan kekekalan dalam waktu, Dan percaya Tuhan ada sebelum adanya dunia
dalam hal esensi tapi tidak dalam hal waktu. Ambillah satu contoh, jika kau
pegang sebuah benda dengan tanganmu dan kau gerakkan tanganmu, maka benda itu
tak gerak lagi, akan bergerak dikarenakan gerak tangan itu, jadi gerak itu
bergantung kepada gerak tangan. Gerak tangan mendahului gerak benda dalam
esensinya, dan gerak benda diambil dari gerak tangan tersebut, meskipun dalam
soal waktu keduanya tak saling mendahului.[27]
Mengenai pandangan bahwa dunia dan Tuhan sama-sama
kekal, Ibnu Tufail mempertahankan pendapat mistisnya bahwa dunia ini bukanlah
suatu yang lain dari Tuhan. Dan mengenai esensi Tuhan yang ditafsirkan sebagai
cahaya yang sifat esensialnya merupakan penerangan dan pengejawantahan,
sebagaimana dipercaya oleh Al Ghazali, Ibnu Tufail memandang dunia ini sebagai
pengejawantahan dari esensi Tuhan sendiri dan bayangan cahaya-Nya sendiri yang
tidak berawal atau berakhir. Dunia tidak akan hancur sebagaimana yang ada pada
kepercayaan akan Hari penentuan. Kehancurannya berupa keberalihannya menjadi
bentuk lain dan bukannya merupakan suatu kehancuran sepenuhnya. Dunia mesti
terus berlangsung dalam satu atau bentuk lain sebab kehancurannya tidak sesuai
dengan kebenaran mistis yang tinggi, yaitu bahwa sifat esensi Tuhan merupakan
penerangan dan pengejawantahan kekal.[28]
Di
dalam roman filsafatnya yang menarik itu Ibnu Thufail menggambarkan kepada
manusia bahwa kepercayaan kepada Allah adalah satu bagian dari fitrah manusia
yang tidak dapat disangkal dan bahwa akal yang sehat dengan memperhatikan dan
merenungkan alam sekitarnya tentu akan sampai kepada Tuhan.[29]
3.
Tentang Kosmologi Cahaya
Ibnu Tufail menerima prinsip bahwa dari satu tidak ada
lagi apa-apa kecuali satu itu. Manivestasi kemajemukan, kemaujudan dari yang
satu dijelaskannya dalam gaya new platonik yang monoton, sebagai tahap-tahap
berurutan pemancaran yang berasal dari cahaya Tuhan. Proses situ pada
prinsipnya, sama dengan refleksi terus menerus cahaya matahari kepada cermin. Cahaya
matahari yang jatuh pada cermin yang dari sana menuju ke yang lain dan
seterusnya, menunjukkkan kemajemukan . semua itu merupakan pantulan matahari
dan bukan matahari itu sendiri, juga bukan cermin itu sendiri, bukan pula suatu
yang lain dari matahari dan cermin itu. Kemajemukan cahaya yang dipantulkan itu
hilang menyatu dengan matahari kalau kita pandang sumber cahaya itu, tapi
timbul lagi bila kita lihat dicermin, yang disitu cahaya tersebut dipantulkan.
Hal yang sama juga berlaku pada cahaya pertama serta perwujudannya di dalam
kosmos.[30]
4.
Epistemologi Pengetahuan
Tahap pertama jiwa bukanlah suatu tabularasa atau
papan tulis kosong, imaji tuhan telah tersirat di dalamnya sejak awal, tapi
untuk menjadikannya tampak nyata, kita perlu memulai dengan pikiran yang jernih
tanpa prasangka keterlepasan dari prasangka dan kecenderungan sosial sebagai
kondisi awal semua pengetahuan, merupakan gagasan sesungguhnya dibalik
kelahiran tiba-tiba Hay di pulau kosong. Setelah hal ini tercapai pengalaman,
inteleksi dan exstasi memainkan dengan bebas peranan mereka secara berurutan
dalam memberikan visi yang jernih tentang kebenaran yang melekat pada jiwa.
Bukan hanya disiplin jiwa, tapi pendidikan indra dan akal yang diperlukan untuk
mendapatkan visi semacam itu. Kesesuaian antara pengalaman dan nalar, disatu
pihak, dan kesesuaian antara nalar dan intuisi, dipihak lain membentuk esensi
epistimologi Ibnu Tufail.[31]
Pengalaman akan menjadi suatu proses mengenal
lingkungan lewat indera. Organ-organ indera ini berfungsi berkat jiwa hewan
yang ada di dalam hati, dari sana berbagai data indera yang kacau mencapai otak
menyebarkanya ke seluruh tubuh lewat jalur syaraf. Kemudian dikirimkan ke otak
lewat jalur yang sama, di situ diproses menjadi satu kesatuan perspektif.
Pengamatan member kita pengetahuan mengenai
benda-benda yang oleh akal induktif, dengan akat-alat pembanding dan
pembedaannya, dikelompokkan menjadi mineral, tanaman dan hewan. Setiap kelompok
benda ini memperlihatkan fungsi-fungsi tertentu, yang membuat kita menerima
bentuk-bentuk atau jiwa-jiwa (seperti Aristoteles) sebagai penyebab
fungsi-fungsi tertentu berbagai benda. Tapi hipotesis semacam iti tidaklah
dapat dipertahankan atas dasar induktif, sebab bentuk atau jiwa yang dimaksud
itu tidak dapat diamati secara langsung. Tak pelak lagi tindakan-tindakan
tampak muncul dari suatu tubuh tertentu; tapi kenyataannya, mereka tidak
ditimbulkan bukan oleh tubuh itu atau ruh tubuh itu, melainkan oleh sebab
tertentu yang ada di luarnya dan sebab itu ialah Tuhan.[32]
Mengikuti pendapat Al Ghazali dan mendahului pendapat
Hume, Ibnu Thufail tidak melihat adanya kekuatan pada sebab yang bias
mendatangkan pengaruh sebagaimana biasanya. Empirisme Hume berakhir dalam
skeptisisme, tapi ketasawufan Ibnu Thufail membuatnya melihat bahwa ikatan
sebab akibat merupakan suatu tindak perpaduan yang berasal dari Tuhan, tapi
oleh Kant hal itu dianggap berasal dari bentuk apriori pemahaman. Ibnu Thufail
sekaligus berada di depan Bacon, Hume dan Kant. Dia telah mengemukakan terlebih
dahulu metoda induktif ilmu modern; melihat ketidakmampuan nalar teoritis untuk
menjawab teka-teki mengenai kekekalan dan penciptaan sementara dunia ini, juga
ketidakmampuan akal induktif untuk menetapkan suatu hubungan yang tegas antara
sebab dan akibat, dan akhirnya menjernihkan awan skeptisisme dengan membuat
pernyataan bersama Al Ghazali bahwa rangkaian sebab akibat itu merupakan
tindakan terpadu Tuhan.[33]
Setelah mendidik akal dan indra serta memperhatikan
keterbatasan keduanya, Ibnu Tufail akhirnya berpaling kepada disiplin jiwa yang
membawa kepada ekstasi, sumber tertinggi pengetahuan. Dalam taraf ini,
kebenaran tidak lagi dicapai lewat proses deduksi atau induksi, tapi dapat
dilihat secara langsung dan intiutif lewat cahaya yang ada didalamnya. Jiwa
menjadi sadar diri dan mengalami apa yang tak pernah dilihat mata atau didengar
telinga atau dirasa hati orang manapun. Tarap ekstasi tak terkatakan atau
terlukiskan sebab lingkup kata-kata terbatas pada apa yang dapat dilihat,
didengar atau dirasa. Esensi tuhan yang merupakan cahaya suci hanya bisa
dilihat lewat cahaya didalam esensi itu sendiri yang masuk dalam esensi itu
lewat pendidikan yang tepat atas indra, akal serta jiwa. Karena itu pengetahuan
esensi merupakan esensi itu sendiri. Esensi dan visinya adalah sama.[34]
5.
Etika/Akhlak
Manusia
merupakan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani dan esensi non-bendawi, dan
demikian menggambarkan binatang, benda angkasa dan Tuhan. Karena itu pendakian
jiwanya terletak pada pemuasan ketiga aspek sifatnya,Dengan cara meniru
tindakan-tindakan hewan, benda-benda angkasa dan Tuhan. Mengenai peniruannya
pertama, ia terikat untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya dan kebutuhan-kebutuhan
pokok serta menjaganya dari cuaca buruk dan binatang buas, dengan satu tujuan
yaitu mempertahankan jiwa hewani. Peniruan yang kedua menuntut darinya
kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan terhadap obyek-obyek hidup dan tak
hidup, perenungan atas esensi Tuhan dan perputaran esensi orang dalam ekstase.
Ibnu Tufail
tampaknya percaya bahwa benda-benda angkasa memiliki jiwa hewani dan tenggelam
dalam perenungan yang tak habis-habisnya tentang Tuhan. Terakhir, dia harus
melengkapi dirinya dengan sifat-sifat Tuhan baik yang positif maupun yang
negative, yaitu pengetahuan, kekuasaan, kebijaksanaan, kebebasan dari keinginan
jasmaniah, dan sebagainya. Melaksanakan kewajiban diri sendiri, demi yang
lain-lainnya dan demi Tuhan, secara ringkas merupakan salah satu disiplin jiwa
yang esensial. Kewajiban yang terakhir adalah suatu akhir diri, dua yang
disebut sebelumnya membawa kepada perwujudannya dalam visi akan rahmat Tuhan,
dan visi sekaligus menjadi identik dengan esensi Tuhan.[35]
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
Dari uraian dan
pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Ibnu Thufail dilahirkan di Guadix (Arab : Wadi Asy), provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. dalam bahasa latin Ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer.
- Karya Ibnu Thufail yang terkenal adalah sebuah buku filsafat yang berjudul Hayy Ibnu Yagzan (“kehidupan anak kesadaran”).
- Ajaran Filsafat Ibnu Thufail meliputi tentang Dunia, tentang Tuhan, tentang kosmologi cahaya, dan tentang epistimologi pengetahuan dan etika/akhlak.
DAFTAR PUSTAKA
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemah, Surabaya: UD. Mekar,
2000.
http://bataviase.co.id/detailberita-10495945.html
http://islamic-oase.blogspot.com/2008/11/ibn-tofail-ilmuwan-andalusia-pelopor.html
Musthofa. Filsafat Islam, Bandung:
SV Pustaka Setia, 2004
Hanafi. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, 1969
http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/08/otobiografi-ibnu-tufail.html
Hanafi. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, 1969
http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/08/otobiografi-ibnu-tufail.html
Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia,
1997.
Sirajuddin. Zar, Filsafat Islam. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada. 2007.
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta,
2004.
Thufail, Ibnu, Hayy
Ibn Yaqzhan Roman Filsafat tentang Perjumpaan Nalar dengan Tuhan.
Diterjemahkan oleh: Dahyal Afkal, Bekasi: Menara, 2006.
[2] Ibid
[3] Ibid
[5] Ibid
[6] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemah, Surabaya:
UD. Mekar, 2000.
[8]
Sirajuddin. Zar, Filsafat Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
2007. h. 205
[9] Ibid, h. 206
[10]
Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997, h. 272
[11] http://islamic-oase.blogspot.com/2008/11/ibn-tofail-ilmuwan-andalusia-pelopor.html
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] http://islamic-oase.blogspot.com/2008/11/ibn-tofail-ilmuwan-andalusia-pelopor.html
[15] Ibid
[17] http://islamic-oase.blogspot.com/2008/11/ibn-tofail-ilmuwan-andalusia-pelopor.html
[18] Ibid
[19] Ibid
[21] Ibid
[22] Ibid
[23]
Mustofa,H.A, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,1997), 275
[24] Ibid
[25] Mustofa,H.A,
Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,1997), 276
[26] Ibid,
276
[27] Ibid,
276
[28] Mustofa,H.A,
Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,1997), 277
[29]
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, h. 81
[30]
Mustofa,H.A, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,1997), 277
[31] Ibid,
278
[32] Mustofa,H.A,
Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,1997), 278
[33] Ibid,
278
[34] Mustofa,H.A, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,1997), 279
[35]
Mustofa,H.A, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,1997), 279-280
Oleh : Narto (sabdonarto@gmail.com)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Peradaban
Islam melahirkan banyak ahli filsafat yang ternama. Namun entah mengapa
filsafat dan kesusastraan Islam tetap dianggap sebagai satu kelompok yang
hilang dalam sejarah pemikiran manusia. Jangan heran bila dalam studi sejarah
pemikiran, lebih mengenal tokoh-tokoh yang berasal dari Yunani dan Barat
ketimbang dari Islam.[1]
Meskipun
para ulama Islam yang ahli di bidang pemikiran dan kebudayaan seperti seperti
al-Ghazali, Ibnu Thufayl, al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina dianggap brilian,
namun mereka tak mendapat tempat yang sewajarnya dibandingkan dengan tokoh
Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Hal ini dikarenakan beberapa ulama dan
sarjana kita, tampaknya kurang tertarik untuk mengkaji dan mengkomentari
sejumlah karya-karya ulama dan cendekiawan muslim terdahulu yang karyanya
monumental dan susah dicari tandingannya.[2] Di
antara pencapaian yang telah mereka peroleh adalah dalam ranah pemikiran
filsafat dan tasawwuf yang merupakan rantai yang paling kuat dalam mata rantai
yang menghubungkan antara filsafat Yunani, Timur dan Latin Barat, pencapaian
mereka semakin kokoh dan diakui terutama dalam kontribusi mereka yang telah
berhasil melakukan upaya mengkompromikan antara wahyu, akal dan intuisi serta
agama dan ilmu pengetahuan.[3]
Untuk
menunjukkan sisi dari kontribusi muslim Spanyol abad pertengahan dalam ranah filsafat
akan penulis ketengahkan nama Ibnu Thufayl yang merupakan tokoh filosof muslim
Neo-Platonis Spanyol yang telah mencapai orisinalitas karya yang sedemikian rupa
yang hidup pada masa pemerintahan dinasti Al-Muwahidin.[4] Ibnu
Thufayl memberikan gambaran tentang sebuah simpul social, yang mengubah urutan
situasi pikiran dari ketiadaan panca indera menuju kepada isolasi budaya.
Tujuan utama Ibnu Thufayl adalah untuk menunjukkan apa yang dapat ditemukan
oleh intelejensia manusia tanpa adanya bantuan dari pihak di luar dirinya yang
bersifat ketuhanan, yang menanamkan pengetahuan – penerimaan mengenai ide-ide
dan kecenderungan untuk secara aktif melakukan pencarian seperti yang telah
ditegaskan al-Ghazali terhadap dirinya sendiri dan apa yang telah dilakukan
oleh Aristoteles dengan menyusun sebuah premis ketika dia mengawali bukunya, Metaphysics,
dengan kata-kata, “seluruh manusia secara naluri ingin mencari tahu”.[5]
Pengetahuan yang dimiliki manusia melalui penginderaaan
terhadap alam sekitarnya, merupakan salah satu bentuk pengetahuan yang
ditekankan dan diakui oleh Al-Qur’an, dalam rangka mencari kebenaran. Allah SWT
berfirman : Q.S. Al-Baqarah ayat 164:
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera
yang berlayar di lautan membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang
diturunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi
sesudah mati (kering)nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan
pengisaran angin dan awan yang dijendalikan antara langit dan bumi; sungguh
(terdapat) tanda-tanda (kekuasaan) Allah bagi kaum yang berpikir.”[6]
Maka tidak ada keraguan lagi, bahwa maksud langsung
dari Al-Qur’an dengan pengamatan yang seksama tentang alam itu ialah untuk
membangkitkan kesadaran tentang segala sesuatu yang ada di alam itu dipandang
sebagai satu lambang dari kekuasaan-Nya. Hal ini sesuai dengan esensi serta
tujuan Ibnu Thufayl dalam novelnya, Hayy Ibnu Yaqzan.
Ibnu Tufail
berada di suatu tingkat yang ajaib dalam ilmunya, yakni berada dalam tingkat
mistik yang penuh kegembiraan. Beberapa orang menganggapnya sebagai
orang panties yaitu orang yang menganggap tidak ada beda lagi antara dirinya
dengan Tuhan. Anggapan ini ternyata salah. Ia sebenarnya hanya seperti juga Al
Gazali , merasa telah mencapai tingkat makrifat yang tinggi seperti katanya:
”Fakana makana mimma lastu adkuruhu. Fadhonnu khoiran wala tasal anil khobari.”
(terjadilah sesuatu yang tidak akan disebutkan akan tetapi sangkalah dia
sebagai suatu kebaikan juga, dan jangan tanya tentang beritanya).[7]
B. Rumusan Masalah
1.Bagaimana
sejarah hidup Ibnu Thufail?
2.Apa saja karya-karya Ibnu Thufail?
3.Bagaimana pemikiran atau ajaran filsafat Ibnu Thufail?
2.Apa saja karya-karya Ibnu Thufail?
3.Bagaimana pemikiran atau ajaran filsafat Ibnu Thufail?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah perjalan hidup Ibnu Thufail
2. Untuk mengetahui apa saja karya-karya Ibnu Thufail
3. Untuk mengetahui pemikiran dan filsafat yang dianut oleh Ibnu Thufail
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Sejarah Ibnu Thufail
Nama
lengkap Ibnu Thufail ialah Abu Bakar ibnu Abd Al-Malik ibn Muhammad ibnu
Thufail (أبو بكر بن عبد الملك بن محمد بن طفيل
القيسي الأندلسي. Ia
dilahirkan di Guadix (Arab : Wadi Asy), provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506
H/1110 M. dalam bahasa latin Ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer.[8]
Selain
terkenal sebagai filosof muslim yang gemar menuangkan pemikirannya dalam
kisah-kisah ajaib dan penuh dengan kebenaran, ia juga seorang dokter, ahli
matematika dan kesusastraan. Karier Ibnu Thufail bermula sebagai dokter praktik
di Granada. Lewat ketenarannya sebagai dokter, ia diangkat menjadi sekretaris
Gubernur di provinsi tersebut. Pada tahun 1154 M (549 H). Ibnu Thufail menjadi
sekretaris pribadi Gubernur Cueta (Arab: Sabtah) dan Tangier (Arab : Thanjah /
Latin : Tanger) Abu Yaqub Yusuf al-Mansur, Khalifah kedua dari Dinasti
Muwahhidun (558 H / 1163 M – 580 H / 1184 M) selanjutnya menjadi dokter
pemerintah dan sekaligus menjadi qadhi.
Pada
masa khalifah Abu Yaquf Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam
pemerintahan. Pada pihak lain, khalifah sendiri mencintai ilmu pengetahuan dan
secara khusus adalah peminat filsafat serta memberi kebebasan berfilsafat.
Sikapnya itu menjadikan pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran filosofis dan
membuat Spanyol, seperti dikatakan R. Briffault sebagai “tempat kelahiran
kembali negeri Eropa”[9]
Kemudian
ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dokter pemerintah pada tahun 578 H
/ 1182 M, dikarenakan usianya yang sudah uzur. Kedudukannya itu digantikan oleh
Ibnu Rusd atas permintaan dari Ibnu Thufail. Tapi dia tetap mendapatkan
penghargaan dari Abu Yaqub dan setelah dia meninggal pada tahun 581 H / 1185 M)
di Marakesh (Maroko) dan dimakamkan disana, Al-Mansur sendiri hadir dalam
upacara pemakamannya.[10]
Para
ahli sejarah tidak dapat menuturkan keseluruhan latar belakang dari tokoh kita
ini disebabkan keterbatasan data. Tidak diketahui siapa saja keluarga dan
kerabat Ibnu Tufail. Lembaran sejarah mencatat bahwa Ibnu Tufail pada masa
hidupnya merupakan seorang tokoh yang cukup disegani dan berpengaruh.[11]
Namun bukan semua itu yang menjadikan nama Ibnu Tufail
dikenang dalam sejarah Islam bahkan sejarah dunia. Sebuah master-piece Ibn
Tofail berjudul "حي بن يقظان" Hayy ibnu Yagzan (“kehidupan anak
kesadaran”), di Barat dikenal sebagai: Philosophus Autodidactus) telah
menorehkan tinta emas di atas lembaran sejarah sebagai salah satu karya paling
berharga yang pernah ada di bidang filsafat.[12]
Dalam mengarang buku ini Ibnu Tufail banyak
terpengaruh filsafat Plato. Pemikiran-pemikiran filosofis Ibn Tofail ketika
menulis buku ini telah mencapai taraf yang paling matang. Ditulisnya
pemikiran-pemikirannya dalam bentuk novel alegori sembari menawarkan sebuah korelasi
filsafat antara akal dan agama dalam pencarian kebenaran hakiki.[13]
Buku ini menggunakan aktor utama seorang bayi buangan
yang terdampar di sebuah pulau tanpa seorangpun manusia. Sang bayi lalu
ditemukan oleh seekor rusa betina yang baru ditinggal mati anaknya, yang
kemudian mengasuh Hayy sebagai anaknya. Terciptalah hubungan anak-ibu antara
sang bayi dan sang rusa. Di sinalah awal petualangan pencarian hakikat Hayy.
Persentuhan antara teologi Islam yang dimiliki Ibnu Tufail dengan filsafat
Eropa telah menjadikan Hayy yang terlahir secara fitrah dapat meniru tingkah
laku sang ibu dan binatang-binatang lainnya. Dan Hayy bertahan hidup hanya
berandalkan insting yang dimilikinya.[14]
Seiring umur Hayy yang bertambah, akalnya berkembang.
Melalui perbandingan tingkah laku, ia mulai menyadari perbedaan antara dirinya
dan binatang-binatang sahabatnya, bahkan perbedaan dengan ibunya
sendiri. Lalu melalui pengamatan, berfikir dan kontemplasi, Hayy perlahan
menemukan insting kemanusiaannya. Ini semua membuka matanya dalam mengenali
hakikat semesta. [15]
Penghidupan Hayy kemudian berkembang mengikuti
masyarakat yang amat primitif itu mulai dari langkahnya yang pertama.
Dilihatnya semua hewan tertutup auratnya dengan kulit dan bulu, lalu ditirunya.
Diambilnya bulu-bulu burung dan daun-daun kayu guna menutup aurat. Pada suatu
hari terlihat oleh Hayy terjadi kebakaran dipulau itu, api itu diambilnya lalu
dinyalakannya kayu-kayu terus menerus dengan kayu itu di cobanya membakar
burung, lalu terasalah baginya makanannya yang lebih lezat setelah dimasak itu.
Dia mulai berburu hewan guna dimasak dan dimakan, guna teman berburu itu lalu
dipeliharanya seekor anjing, Makanan yang berlebih disimpan untuk hari
berikutnya. Dengan ini timbullah peradabannya yang pertama, pada suatu
hari kijang yang mengasuhnya sejak kecil sakit dan makin hari semakin lemah dan
akhirnya tidak bergerak lagi yaitu mati. Disamping susah, Hayy menjadi heran,
sebab belum pernah melihat seekor hewan mati dengan sendirinya tanpa
pembunuhan, akhirnya Hayy mulai memikirkan sungguh-sungguh mengapa ada
peristiwa kematian itu, kemudian badan kijang itu dioperasinya, diperiksanya
kalau-kalau ada anggota badannya yang rusak. Ternyata semua masih lengkap dan
akhirnya Hayy mengerti bahwa sebab kematian itu berada diluar badannya. Dia
bertanya, siapakah yang berkuasa diluar badannya itu? Dengan ini sampailah
pemikiran Hayy kepada pengakuan ketuhanan. Dia percaya kepada Tuhan, dan dia
tidak lagi mementingkan benar soal makan sebab akhirnya akan mati.[16]
Kelak di akhir cerita Hayy bertemu juga dengan hakikat
utama yang ia cari. Dari pemikiran filsafat yang tertuang dalam buku inilah
kemudian Barat menetapkan Ibnu Tufail sebagai pelopor konsep Autodidacticism
(pembelajaran mandiri -red) dan konsep Tabula Rasa
(fitrah -red).[17]
Buku ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
literatur Arab dan literatur Eropa, dan telah menjadi salah satu best-seller
yang sensasional di belahan barat Eropa sepanjang abad 17 hingga abad 18.
Pengaruh kuat dari buku ini juga tampak pada filsafat Islam klasik dan filsafat
modern Barat. Buku ini telah menjadi salah satu buku terpenting pencetus
lahirnya Revolusi Sains dan Pencerahan
Eropa. Filsafat yang tertuang dalam buku ini bisa dijumpai pada karya-karya
Thomas Hobbes, John Locke, Isaac Newton dan Imanuel Kant dalam berbagai variasi
dan derajat yang berbeda-beda. Buku ini pula yang kelak mengilhami cerita dan
kartun Mowgli yang kita kenal saat ini.[18]
B. Karya-Karya Ibnu
Tufail
Sejarah mencatat bahwa Ibnu Tufail dan Ibnu Rusyd
sering berbincang, berdebat dan saling evaluasi seputar masalah-masalah
kedokteran dan filsafat. Evaluasi dan perdebatan mereka yang khusus
membicarakan tentang kedokteran kemudian dicatat oleh Ibnu Tufail dalam
karyanya "مراجعات ومباحث" (Muraja'at wa Mabahits;
Revisi-revisi dan pembahasan -red). Lalu catatan tulisan ini oleh Ibnu Rusyd
dimasukkan menjadi bagian dari salah satu karangannya: "الكليات"
(al-Kulliyyat). Karya kedokteran lain dari Ibnu Tufail yang masih bisa
dinikmati adalah "الأرجوزة في الطب" (Arjuzah fi at-Thib) sepanjang 7700
bait, sekarang masih tersimpan di perpustakaan Jami' al-Qarawiyyin Fes - Maroko
dalam bentuk manuskrip.[19]
Selain mumpuni di bidang kedokteran, Ibnu Tufail juga
merupakan master bidang astronomi. Teori-teori briliannya di bidang ilmu
perbintangan secara ringkas dilukiskan oleh Lyon Goteh (?)-seorang orientalis
Perancis: "Walaupun tidak ditemukan tulisan-tulisan Ibnu Tufail di bidang
astronomi, namun kita tahu bahwa dia tidak setuju dengan teori system jagat raya
yang diletakkan Batlimus, bahkan Ibnu Tufail telah memiliki teori baru".
Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Ibn Rusyd bahwa Ibnu Tufail memiliki
teori-teori sensasional sekitar system jagat raya dan dasar-dasar
perputarannya.[20]
Miquel Casiri ( 1112 H/1710 M -1205 H/1790 M )
menyebutkan dua karya yang masih ada: risalah hay ibn yaqzan dan asrar Al
hikmah Al mashariqiyah, yang disebut terakhir ini berbentuk naskah. Kata
pengantar dari asrar menyebutkan bahwa risalah itu hanya merupakan satu bagian
dari risalah Hay Ibn Yaqzan, yang judul lengkapnya ialah Risalah Hayy Ibn
Yaqzan fi Asrar Al hikamat Al mashariqiyah.[21]
Beberapa karya Ibnu Tufail yang terkenal adalah sebuah
buku filsafat yang berjudul Hayy ibnu Yagzan (“kehidupan anak kesadaran”) karya
ini memang sama dengan buah karya Ibnu Sina yang diakunya sendiri berisikan
kebijaksanaan timur (Orental Wisdom). Kebijaksanaan timur pulalah yang menjadi
pokok pikiran Ibnu Tufail dalam buku ini. Seperti diakui Ibnu Tufail, pokok
pikiran ini bisa diidentifikasi sebagai tasawwuf yang kala itu ditolak oleh
kebanyakan filosof muslim termasuk Ibnu Bajjah. Diskursus rasional, menurut
para filosof anti tasawuf bertolak belakang dengan pengalaman mistis yang oleh
para ahli diyakini bersifat ektra rasional dan tak terperikan.[22]
C. Ajaran Filsafat Ibnu Tufail
1.
Tentang Dunia
Salah satu masalah filsafat adalah apakah dunia itu
kekal, atau diciptakan oleh tuhan dari ketiadaan atas kehendak-Nya? Dalam
filsafat Islam, Ibnu Tufail, sejalan dengan kemahiran dialektisnya, menghadapi
masalah itu dengan tepat. Tidak seperti pendahulunya, dia tidak menganut salah
satu doktrin saingannya, dan tidak
berusaha mendamaikan mereka. Di lain
pihak, dia mengecam dengan pedas para pengikut Aristoteles dan sikap-sikap
teologis. Kekekalan dunia melibatkan konsep eksistensi tak terbatas yang tak kurang
mustahilnya dibandingkan gagasan tentang rentangan tak terbatas. Eksistensi
seperti itu tidak lepas dari kejadian-kejadian yang diciptakan dan karena itu
tidak dapat mendahului mereka dalam hal waktu, dan yang tidak dapat sebelum
kejadian-kejadian yang tercipta itu pasti tercipta secara lambat laun. Begitu
pula konsep Creatio Ex Nihilo tidak dapat mempertahankan penelitiannya yang seksama.[23]
Sebagaimana Al-Ghazali, dia mengemukakan bahwa gagasan
mengenai kemaujudan sebelum ketidakmaujudan tidak dapat dipahami tanpa anggapan
bahwa waktu itu telah ada sebelum dunia ada, tapi waktu itu sendiri merupakan
suatu kejadian tak terpisahkan dari dunia, dan karena itu kemaujudan dunia di
kesampingkan lagi, segala yang tercipta pasti membutuhkan pencipta. Kalau
begitu mengapa sang pencipta menciptakan dunia saat itu bukan sebelumnya? Apakah
hal itu dikarenakan oleh suatu yang terjadi atas-Nya? Tentu saja tidak, sebab
tiada sesuatupun sebelum dia untuk membuat sesuatu terjadi atas-Nya. Apakah hal
itu mesti bersumber dari suatu perubahan yang terjadi atas sifat-Nya? Tapi
adakah yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut? Karena itu Ibnu Tufail tidak
menerima baik pandangan mengenai kekekalan maupun penciptaan sementara dunia ini.[24]
2.
Tentang Tuhan
Penciptaan dunia yang berlangsung lambat laun itu
mensyaratkan adanya satu pencipta, sebab dunia tak bisa maujud dengan
sendirinya. Juga, sang Pencipta bersifat immaterial, sebab materi yang
merupakan suatu kejadian dunia diciptakan oleh satu pencipta. Dipihak lain
anggapan bahwa Tuhan bersifat material akan membawa suatu kemunduran yang tiada
akhir yang adalah musykil. Oleh karena itu dunia ini pasti mempunyai
penciptanya yang tidak berwujud benda. Dan karena Dia bersifat immaterial, maka
kita tidak dapat mengenalNya lewat indera kita ataupun lewat imajinasi, sebab
imajinasi hanya menggambarkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh indera.[25]
Kekekalan dunia berarti kekekalan geraknya juga, dan
gerak sebagaimana dikatakan Aristoteles, membutuhkan penggerak atau penyebab
efisien dari gerak itu. Jika penyebab efisien ini berupa sebuah benda, maka
kekuatannya tentu terbatas dan karenanya tidak mampu menghasilkan suatu
pengaruh yang tidak terbatas. Oleh sebab itu penyebab efisien dari gerak kekal
harus bersifat immaterial. Ia tidak boleh dihubungkan dengan materi ataupun
dipisahkan darinya, ada di dalam materi itu atau tanpa materi itu, sebab
penyatuan dan pemisahan, keterkandungan atau keterlepasan merupakan tanda-tanda
material, sedang penyebab efisien itu, sesungguhnya lepas dari itu semua.[26]
Tuhan dan dunia yang keduanya kekal, bagaimana bisa
yang pertama dianggap sebagai penyebab adanya yang kedua? Dengan mengikuti
pandangan Ibnu Sina, Ibnu Thufail membuat perbedaan antara kekekalan dalam
esensi dan kekekalan dalam waktu, Dan percaya Tuhan ada sebelum adanya dunia
dalam hal esensi tapi tidak dalam hal waktu. Ambillah satu contoh, jika kau
pegang sebuah benda dengan tanganmu dan kau gerakkan tanganmu, maka benda itu
tak gerak lagi, akan bergerak dikarenakan gerak tangan itu, jadi gerak itu
bergantung kepada gerak tangan. Gerak tangan mendahului gerak benda dalam
esensinya, dan gerak benda diambil dari gerak tangan tersebut, meskipun dalam
soal waktu keduanya tak saling mendahului.[27]
Mengenai pandangan bahwa dunia dan Tuhan sama-sama
kekal, Ibnu Tufail mempertahankan pendapat mistisnya bahwa dunia ini bukanlah
suatu yang lain dari Tuhan. Dan mengenai esensi Tuhan yang ditafsirkan sebagai
cahaya yang sifat esensialnya merupakan penerangan dan pengejawantahan,
sebagaimana dipercaya oleh Al Ghazali, Ibnu Tufail memandang dunia ini sebagai
pengejawantahan dari esensi Tuhan sendiri dan bayangan cahaya-Nya sendiri yang
tidak berawal atau berakhir. Dunia tidak akan hancur sebagaimana yang ada pada
kepercayaan akan Hari penentuan. Kehancurannya berupa keberalihannya menjadi
bentuk lain dan bukannya merupakan suatu kehancuran sepenuhnya. Dunia mesti
terus berlangsung dalam satu atau bentuk lain sebab kehancurannya tidak sesuai
dengan kebenaran mistis yang tinggi, yaitu bahwa sifat esensi Tuhan merupakan
penerangan dan pengejawantahan kekal.[28]
Di
dalam roman filsafatnya yang menarik itu Ibnu Thufail menggambarkan kepada
manusia bahwa kepercayaan kepada Allah adalah satu bagian dari fitrah manusia
yang tidak dapat disangkal dan bahwa akal yang sehat dengan memperhatikan dan
merenungkan alam sekitarnya tentu akan sampai kepada Tuhan.[29]
3.
Tentang Kosmologi Cahaya
Ibnu Tufail menerima prinsip bahwa dari satu tidak ada
lagi apa-apa kecuali satu itu. Manivestasi kemajemukan, kemaujudan dari yang
satu dijelaskannya dalam gaya new platonik yang monoton, sebagai tahap-tahap
berurutan pemancaran yang berasal dari cahaya Tuhan. Proses situ pada
prinsipnya, sama dengan refleksi terus menerus cahaya matahari kepada cermin. Cahaya
matahari yang jatuh pada cermin yang dari sana menuju ke yang lain dan
seterusnya, menunjukkkan kemajemukan . semua itu merupakan pantulan matahari
dan bukan matahari itu sendiri, juga bukan cermin itu sendiri, bukan pula suatu
yang lain dari matahari dan cermin itu. Kemajemukan cahaya yang dipantulkan itu
hilang menyatu dengan matahari kalau kita pandang sumber cahaya itu, tapi
timbul lagi bila kita lihat dicermin, yang disitu cahaya tersebut dipantulkan.
Hal yang sama juga berlaku pada cahaya pertama serta perwujudannya di dalam
kosmos.[30]
4.
Epistemologi Pengetahuan
Tahap pertama jiwa bukanlah suatu tabularasa atau
papan tulis kosong, imaji tuhan telah tersirat di dalamnya sejak awal, tapi
untuk menjadikannya tampak nyata, kita perlu memulai dengan pikiran yang jernih
tanpa prasangka keterlepasan dari prasangka dan kecenderungan sosial sebagai
kondisi awal semua pengetahuan, merupakan gagasan sesungguhnya dibalik
kelahiran tiba-tiba Hay di pulau kosong. Setelah hal ini tercapai pengalaman,
inteleksi dan exstasi memainkan dengan bebas peranan mereka secara berurutan
dalam memberikan visi yang jernih tentang kebenaran yang melekat pada jiwa.
Bukan hanya disiplin jiwa, tapi pendidikan indra dan akal yang diperlukan untuk
mendapatkan visi semacam itu. Kesesuaian antara pengalaman dan nalar, disatu
pihak, dan kesesuaian antara nalar dan intuisi, dipihak lain membentuk esensi
epistimologi Ibnu Tufail.[31]
Pengalaman akan menjadi suatu proses mengenal
lingkungan lewat indera. Organ-organ indera ini berfungsi berkat jiwa hewan
yang ada di dalam hati, dari sana berbagai data indera yang kacau mencapai otak
menyebarkanya ke seluruh tubuh lewat jalur syaraf. Kemudian dikirimkan ke otak
lewat jalur yang sama, di situ diproses menjadi satu kesatuan perspektif.
Pengamatan member kita pengetahuan mengenai
benda-benda yang oleh akal induktif, dengan akat-alat pembanding dan
pembedaannya, dikelompokkan menjadi mineral, tanaman dan hewan. Setiap kelompok
benda ini memperlihatkan fungsi-fungsi tertentu, yang membuat kita menerima
bentuk-bentuk atau jiwa-jiwa (seperti Aristoteles) sebagai penyebab
fungsi-fungsi tertentu berbagai benda. Tapi hipotesis semacam iti tidaklah
dapat dipertahankan atas dasar induktif, sebab bentuk atau jiwa yang dimaksud
itu tidak dapat diamati secara langsung. Tak pelak lagi tindakan-tindakan
tampak muncul dari suatu tubuh tertentu; tapi kenyataannya, mereka tidak
ditimbulkan bukan oleh tubuh itu atau ruh tubuh itu, melainkan oleh sebab
tertentu yang ada di luarnya dan sebab itu ialah Tuhan.[32]
Mengikuti pendapat Al Ghazali dan mendahului pendapat
Hume, Ibnu Thufail tidak melihat adanya kekuatan pada sebab yang bias
mendatangkan pengaruh sebagaimana biasanya. Empirisme Hume berakhir dalam
skeptisisme, tapi ketasawufan Ibnu Thufail membuatnya melihat bahwa ikatan
sebab akibat merupakan suatu tindak perpaduan yang berasal dari Tuhan, tapi
oleh Kant hal itu dianggap berasal dari bentuk apriori pemahaman. Ibnu Thufail
sekaligus berada di depan Bacon, Hume dan Kant. Dia telah mengemukakan terlebih
dahulu metoda induktif ilmu modern; melihat ketidakmampuan nalar teoritis untuk
menjawab teka-teki mengenai kekekalan dan penciptaan sementara dunia ini, juga
ketidakmampuan akal induktif untuk menetapkan suatu hubungan yang tegas antara
sebab dan akibat, dan akhirnya menjernihkan awan skeptisisme dengan membuat
pernyataan bersama Al Ghazali bahwa rangkaian sebab akibat itu merupakan
tindakan terpadu Tuhan.[33]
Setelah mendidik akal dan indra serta memperhatikan
keterbatasan keduanya, Ibnu Tufail akhirnya berpaling kepada disiplin jiwa yang
membawa kepada ekstasi, sumber tertinggi pengetahuan. Dalam taraf ini,
kebenaran tidak lagi dicapai lewat proses deduksi atau induksi, tapi dapat
dilihat secara langsung dan intiutif lewat cahaya yang ada didalamnya. Jiwa
menjadi sadar diri dan mengalami apa yang tak pernah dilihat mata atau didengar
telinga atau dirasa hati orang manapun. Tarap ekstasi tak terkatakan atau
terlukiskan sebab lingkup kata-kata terbatas pada apa yang dapat dilihat,
didengar atau dirasa. Esensi tuhan yang merupakan cahaya suci hanya bisa
dilihat lewat cahaya didalam esensi itu sendiri yang masuk dalam esensi itu
lewat pendidikan yang tepat atas indra, akal serta jiwa. Karena itu pengetahuan
esensi merupakan esensi itu sendiri. Esensi dan visinya adalah sama.[34]
5.
Etika/Akhlak
Manusia
merupakan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani dan esensi non-bendawi, dan
demikian menggambarkan binatang, benda angkasa dan Tuhan. Karena itu pendakian
jiwanya terletak pada pemuasan ketiga aspek sifatnya,Dengan cara meniru
tindakan-tindakan hewan, benda-benda angkasa dan Tuhan. Mengenai peniruannya
pertama, ia terikat untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya dan kebutuhan-kebutuhan
pokok serta menjaganya dari cuaca buruk dan binatang buas, dengan satu tujuan
yaitu mempertahankan jiwa hewani. Peniruan yang kedua menuntut darinya
kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan terhadap obyek-obyek hidup dan tak
hidup, perenungan atas esensi Tuhan dan perputaran esensi orang dalam ekstase.
Ibnu Tufail
tampaknya percaya bahwa benda-benda angkasa memiliki jiwa hewani dan tenggelam
dalam perenungan yang tak habis-habisnya tentang Tuhan. Terakhir, dia harus
melengkapi dirinya dengan sifat-sifat Tuhan baik yang positif maupun yang
negative, yaitu pengetahuan, kekuasaan, kebijaksanaan, kebebasan dari keinginan
jasmaniah, dan sebagainya. Melaksanakan kewajiban diri sendiri, demi yang
lain-lainnya dan demi Tuhan, secara ringkas merupakan salah satu disiplin jiwa
yang esensial. Kewajiban yang terakhir adalah suatu akhir diri, dua yang
disebut sebelumnya membawa kepada perwujudannya dalam visi akan rahmat Tuhan,
dan visi sekaligus menjadi identik dengan esensi Tuhan.[35]
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
Dari uraian dan
pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Ibnu Thufail dilahirkan di Guadix (Arab : Wadi Asy), provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. dalam bahasa latin Ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer.
- Karya Ibnu Thufail yang terkenal adalah sebuah buku filsafat yang berjudul Hayy Ibnu Yagzan (“kehidupan anak kesadaran”).
- Ajaran Filsafat Ibnu Thufail meliputi tentang Dunia, tentang Tuhan, tentang kosmologi cahaya, dan tentang epistimologi pengetahuan dan etika/akhlak.
DAFTAR PUSTAKA
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemah, Surabaya: UD. Mekar,
2000.
http://bataviase.co.id/detailberita-10495945.html
http://islamic-oase.blogspot.com/2008/11/ibn-tofail-ilmuwan-andalusia-pelopor.html
Musthofa. Filsafat Islam, Bandung:
SV Pustaka Setia, 2004
Hanafi. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, 1969
http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/08/otobiografi-ibnu-tufail.html
Hanafi. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, 1969
http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/08/otobiografi-ibnu-tufail.html
Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia,
1997.
Sirajuddin. Zar, Filsafat Islam. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada. 2007.
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta,
2004.
Thufail, Ibnu, Hayy
Ibn Yaqzhan Roman Filsafat tentang Perjumpaan Nalar dengan Tuhan.
Diterjemahkan oleh: Dahyal Afkal, Bekasi: Menara, 2006.
[2] Ibid
[3] Ibid
[5] Ibid
[6] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemah, Surabaya:
UD. Mekar, 2000.
[8]
Sirajuddin. Zar, Filsafat Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
2007. h. 205
[9] Ibid, h. 206
[10]
Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997, h. 272
[11] http://islamic-oase.blogspot.com/2008/11/ibn-tofail-ilmuwan-andalusia-pelopor.html
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] http://islamic-oase.blogspot.com/2008/11/ibn-tofail-ilmuwan-andalusia-pelopor.html
[15] Ibid
[17] http://islamic-oase.blogspot.com/2008/11/ibn-tofail-ilmuwan-andalusia-pelopor.html
[18] Ibid
[19] Ibid
[21] Ibid
[22] Ibid
[23]
Mustofa,H.A, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,1997), 275
[24] Ibid
[25] Mustofa,H.A,
Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,1997), 276
[26] Ibid,
276
[27] Ibid,
276
[28] Mustofa,H.A,
Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,1997), 277
[29]
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, h. 81
[30]
Mustofa,H.A, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,1997), 277
[31] Ibid,
278
[32] Mustofa,H.A,
Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,1997), 278
[33] Ibid,
278
[34] Mustofa,H.A, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,1997), 279
[35]
Mustofa,H.A, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,1997), 279-280
Tidak ada komentar:
Posting Komentar