DINASTI
FATIMIYAH
Oleh : Narto (sabdonarto@gmail.com)
BAB I
PENDAHULUAN
A Latar Belakang
Kejayaan
Islam (the golden age of Islam) ditandai dengan penyebaran agama Islam hingga
ke benua Eropa. Pada masa itulah berdiri sejumlah pemerintahan atau
kekha-lifahan Islamiyah. Seperti dinasti Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah, Turki
Utsmani dan Ayyubiyah.[1]
Selain
penyebaran agama, kemajuan Islam juga ditandai dengan kegemilangan peradaban
Islam. Banyak tokoh-tokoh Muslim yang muncul sebagai cendekiawan dan memiliki
pengaruh besar dalam dunia peradaban hingga saat ini. Namun, setelah perebutan
kekuasaan dan kepemimpinan yang kurang cakap, akibatnya pemerintahan Islam
mengalami kemunduran. Salah satunya adalah dinasti Fatimiyah.[2]
Dinasti Fatimimiyah adalah satu-satunya
Dinasti Syiah dalam Islam.[3]
Dinasti ini didirikan di Tunisia pada 909 M, sebagai tandingan bagi penguasa
dunia muslim saat itu yang berpusat di Baghdad, yaitu Bani Abbasiyah.[4].
B Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis dapat merumuskan masalah
sebagai berikut :
- Bagaimanakah
sejarah berdirinya Dinasti Fatimiyah ?
- Bagaimanakah
kemajuan yang dicapai oleh Dinasti Fatimiyah ?
- Mengapa
Dinasti Fatimiyah mengalami kemunduran ?
C Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka penulis dapat menentukan tujuan
pembahasan makalah sebagai berikut :
- Ingin
mengetahui sejarah berdirinya Dinasti Fatimiyah.
- Ingin
mengetahui kemajuan yang telah dicapai oleh Dinasti Fatimiyah.
- Ingin
mengetahui penyebab kemunduran Dinasti Fatimiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A Sejarah Berdirinya Dinasti
Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah didirikan oleh Said ibn
Husayn, kemungkinan keturunan pendiri kedua sekte Ismailiyah, seorang Persia
yang bernama Abdulllah ibn Maimun. Kemunculan Said, penerus Ibn Maimun yang
sangat mencengangkan ini merupakan puncak dari propaganda sekte Ismailiyah yang
terampil dan teroganisir dengan baik. Keberhasilan ini tidak bisa dilepaskan
dari upaya personal dai (propagandis) utama sekte ini, yaitu Abu Abdullah al
Husayn al-Syi’i.[5]
Dinasti Fatimiyah merupakan Dinasti Syi’ah
Isma’iliyah yang pendirinya menisbahkan nasabnya sampai ke Fatimah putri
Rasulullah dan isteri Khalifah keempat Ali bin Abi Thalib. Karena itu dikenal
dengan Dinasti Fatimiyah. Namun kalangan Sunni mengatakan Ubaidiyun.
Konsep yang digunakan adalah Syi’ah radikal Isma’iliyah dengan doktrin-doktrinnya
yang berdimensi politik, agama, filsafat, dan sosial. Serta para pengikutnya mengharapkan
kemunculan al–Mahdy.[6]
Ubaidillah
bersama keluarga dan para pengikutnya, Ismailiyah menyebar di wilayah
Salamiyah, sebuah pusat kaum Ismailiyah di Suriah. Dengan dukungan kaum Barbar,
pertama dapat mengalahkan Gubernur- Gubernur Aghlabiyah di Ifriqia, Rustinia
Khoriji di Tahar dan menjadikan Idrisiyah Fez sebagai bawahannya, saat
pemerintahan pertama kali di al-Mahdiyah sekitar Qairawan. Maka pada tahun 297
H atau 909 M, ia dilantik menjadi khalifah. Pada masa kepemimpinannya,
pemerintahan Dinasti Fatimiyah berpusat di Maroko, dengan ibukotanya
al-Manshur-iyah.[7] Dinasti Fatimiyah
mengembangkan sayapnya ke daerah sekitarnya serta menduduki Mesir yang kemudian
mendirikan kota baru yang diberi nama Kairo (al-Qohirah “yang berjaya”) atas
prakarsa Jenderal Jauhar Atsaqoli.[8]
Dinasti
Fatimiyah menjalankan roda pemerintahan di Maroko selama 24 tahun yang di
pimpin oleh empat orang khalifah, termasuk Ubaidillah al-Mahdi. Tiga orang
khalifah Dinasti Fatimiyah lainnya yang pernah memerintah di Maroko adalah
al-Qaim (322-323 H/934-946 M), al-Manshur (323-341 H/946-952 M), dan al-Muizz
(341-362 H/952-975 M).[9]
Dalam
perjalanan pemerintahannya, Daulah Fathimiyyah melalui dua fase, yaitu :[10]
- Fase Konsolidasi
(969-1021 M)
Pada
fase ini sempat terjadi perang saudara antara Turki dan Barbar, yang keduanya merupakan
kelompok yang turut mendirikan Dinasti Fathimiyyah. Barbar memberikan dukungan
sepenuhnya kepada Daulah Fathimiyyah karena awalnya Barbar-lah yang mengusai
anggota pemerintahan. Banyak diantara bangsa Barbar yang diangkat menjadi
pejabat pemerintahan. Keadaan ini berlangsung sampai masa pemerintahan Al –
Muizz li Dinillah. Sedangkan pada masa pemerintahan Az Zahir dan Al – Munthasir
Khalifah lebih dekat dengan keturunan Turki. Sehingga muncullah dua kekuatan
besar yaitu Turki dan Barbar, sejak saat itulah Barbar kehilangan kedudukan
dalam pemerintahan. Untuk lebih mengenal keadaan dalam fase ini, baik tentang Khalifah,
roda pemerintahan, kebijakan pemerintah, dan situasi yang dihadapinya, akan
dijelaskan sebagai berikut :
a) Al–Mahdi (909-924 M)
Ubaidillah
al–Mahdi adalah Khalifah pertama Dinasti Fathimiyyah. Ia datang dari Afrika
Utara, dimana propaganda Syi’ah telah menciptakan kondisi yang baik bagi kedatangannya.
Dengan dukungan kaum Barbar dalam menumbangkan Gubernur-Gubernur Aghlabiyah di
Ifriqiyyah dan Rustamiyah Khariji di Tahari, dan menjadikan Idrisiyah Fez
sebagai bawahannya. Pada tahun 909 M, dialah yang memproklamasikan berdirinya
khilafah Fathimiyyah yang terlepas dari kekuasaan Abbasiyah. Ia dibantu oleh
Abdullah Asy-Syafi’i dalam mengkonsolidasikan khilafahannya di Tunisia. Dalam
proses tersebut, pada tahun 920 M, ia telah berhasil mendirikan sebuah kota
yang baru dan dijadikan sebagai ibukota, yaitu Mahdiah yang terletak di pesisir
pantai Tunisia. Selama menjalankan pemerintahannya, ia telah berhasil menghalau
para pemberontak yang dipimpin oleh Abu Abdullah al Husyain dan memperluas
wilayahnya sampai propinsi Fez di Maroko bahkan telah merebut Alexandria.
Perlawanan juga datang dari kelompok pendukung Abbasiyah, kelompok yang
berafiliasi ke Dinasti Umayah di Andalusia maupun kelompok Khawarij dan Barbar.
b) Al–Qa’im ((924-946
M)
Setelah
al–Mahdi meninggal, ia diganti oleh putranya yang bernama Abdul Qasim dan bergelar
Al–Qa’im. Ia meneruskan kebijakan yang diambil ayahnya dengan mengirimkan armadanya
dan mampu menghancurkan pesisir selatan Perancis, Genoa dan sepanjang pesisir
Calabria tahun 934 M. Akan Tetapi ia tidak berhasil dalam memadamkan pemberontakan
oleh Abu Yazid yang berlangsung selama tujuh tahun. Abu Yazid yang berulangkali
menaklukan pasukan Al–Qa’im akhirnya berhasil mengepung Susa. Dengan wafatnya
Al–Qa’im pada tahun 946 M, maka berakhirlah kekuasaannya dan dilanjutkan oleh
putranya Al–Manshur.
c) Al–Manshur (946-953
M)
Perjuangan
yang dilakukan oleh ayahnya telah mencapai keberhasilan yang gemilang dibawah
kekuasaannya. Ia adalah seorang pemuda yang cerdik dan energik hingga ia berhasil
menghentikan pemberontakan Abu Yazid yang terjadi di masa pemerintahan ayahnya.
Ia berhasil menundukkan Abu Yazid dan pasukannya. Bahkan mereka turut membantu
ekspansi hingga ke seluruh Afrika, disanalah ia membuat kota yang diberi nama
al–Mashuriyah.
d) Al–Mu’iz (953-975 M)
Keberhasilan
yang telah dicapai Al–Manshur dilanjutkan oleh putranya yang bernama Abu Tamim
Ma’ad dengan gelar al Mu’iz. Ia telah membuat pencerahan pada Dinasti Fathimiyyah,
dengan melaksanakan kebijaksanaan besar, yaitu :
a.
Pembaharuan dalam bidang
administrasi dengan mengangkat seorang wazir (menteri) untuk melaksanakan
tugas-tugas kenegaraan.
b.
Pembangunan ekonomi, dengan
memberi gaji khusus pada tentara, personalia istana, dan pejabat pemerintahan
lainnya.
c.
Toleransi beragama (juga aliran)
dengan mengadakan empat lembaga, peradilan di Mesir, dua untuk madhab syi’ah
dan untuk madhab sunni.
Setelah basis kekuasaan di Tunis kuat,
Khalifah Fathimiyyah dapat menguasai Mesir pada tahun 969 M. Penguasaan ini
diawali dengan diutusnya panglima Jauhar al–Katib as– Siqili dengan
perlengkapan dan kekayaan yang diperoleh dari basis mereka di Ifriqiyah sebagai
persiapan ke arah Timur. Jauhar berhasil memasuki Fustat dan menyingkirkan Dinasti
Ikhsidiyyah. Setelah Mesir dapat dikuasai, ia membangun sebuah ibukota baru di Mesir
yaitu Kairo Baru (al–Qahirah,artinya yang berjaya). Kairo dibangun dengan
sejumlah istana kebesaran dan masjid-masjid agung yang merupakan sebuah kota
kerajaan yang dirancang sebagai wujud bagi kebesaran kerajaan. Masjid itu
adalah masjid Al Azhar yang berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan selanjutnya masjid ini menjadi sebuah lembaga
akademik dan pada kurun waktu itu Al Azhar menjadi Universitas yang sangat terkenal
dikalangan akademik. Selama 23 tahun, masa kepemimpinan al-Mu’iz,
pemerintahannya berjalan gemilang. Ia meninggal pada tahun 975 M. Dialah
Khalifah termashur dalam kekhalifahan Fathimiyyah di Mesir. Ia mempunyai
kelebihan–kelebihan baik di bidang seni, satra dan pengajaran ditambah dengan
pengetahuannya yang luas, maka tidak heran jika pada masa Al–Muiz inilah awal
kemajuan Fathimiyyah.
e) Al–‘Aziz (975-996 M)
Al–Aziz
putra Al–Muiz dengan sifat pemberani, bijaksana, penyayang, ramah dan pendamai
membuatnya berhasil mengadakan ekspansi wilayah secara besar-besaran. Seluruh
Syiria sebagian Mesopotamia, dan dari pesisir Eupharates sampai Atlantik telah berhasil
dikuasainya, bahkan saat itu Fathimiyyah menjadi rival yang berat bagi
Abbasiyah di Baghdad. Rupanya ia mewarisi keahlian ayahnya dibidang seni. Ini
tampak pada arsitektur Golde Palace (tempat yang sangat indah), The Perl
Pavilion (Paviliun terbuat dari mutiara) dan masjid ayahnya di kuburan Karava.
Pada masa inilah Dinasti Fathimiyyah mencapai puncak kejayaannya.
f) Al-Hakim (996-1021
M)
Al–Hakim
adalah seorang penguasa yang sangat kejam, ia membunuh sejumlah tokoh kerajaan
tanpa alasan. Ini disebabkan karena usianya yang masih muda (11 tahun) ketika menjadi
penguasa menggantikan ayahnya pada tahun 996 M, sehingga dengan mudah gubernurnya
yang tak bermoral yang bernama Barjawan dapat menguasainya dengan penuh. Pada
awal pemerintahannya, tidak ada kestabilan. Secara komparatif kaum Kristen dan
Yahudi diperlakukan dengan baik. Bahkan sebagian dari mereka menduduki jabatan yang
tinggi dalam negara. Selama pemerintahan Al–Hakimlah gerakan religius Syi’i
yang ekstrem, yaitu Druze muncul di Suriah Selatan dan Lebanon, karena Al–Hakim
memberikan semangat pada pendirinya, yaitu da’i Al–Darazi, maka Druze memandang
Khalifah Al–Hakim sebagai titisan Tuhan.
Meskipun
kekejaman mewarnai kekhalifahannya, ia berhasil membangun banyak masjid, dan
bangunan yang paling terkenal sampai sekarang yaitu Dar al-Hikmah yang dibangun
tahun 1306 M, tempat bertemunya berbagai pujangga dan mempromosikan pendidikan
dan Syiah.
2. Fase Parlementer
Setelah
melalui fase konsolidasi, selanjutnya Dinasti Fathimiyyah memasuki fase parlementer.
Suatu fase dimana banyak sekali muncul permasalahan–permasalahan yang rumit
sebagai suatu kelanjutan dari kekuasaan/kejayaan yang dicapai pada fase konsolidasi.
Masa ini disebut juga dengan “Ahdu Mufuzil Awzara” atau masa pengaruh menteri-menteri
mulai dari Az Zahir, sampai dengan Al ‘Adhid. Pada fase ini memperlihatkan
kemunduran tatanan politik, yakni periode peperangan antar fraksi-fraksi
militer dan pembagian negeri ini menjadi sejumlah iqta’ yang dikuasai oleh
pejabat-pejabat militer yang berpengaruh. Sebuah peperangan telah terjadi dalam
fase ini yakni perang Salib. Perang yang terjadi di awal kekuasaan al-Munthasir
ini diawali dengan ekspansi yang dilakukan Fathimiyyah dari Mesir sampai ke
Palestina dan Syiria.
Fathimiyyah
adalah Dinasti syi’ah yang dipimpin oleh 14 Khalifah atau imam di Afrika dan
Mesir tahun 909–1171 M, selama lebih kurang 262 tahun. Para khalifah pada
Dinasti Fatimiyah adalah :
1.
‘Ubaidillah al Mahdi (909-924 M)
2.
Al–Qa’im (924-946 M)
3.
Al–Manshur (946-953 M)
4.
Al–Mu’izz (953-975 M)
5.
Al–‘Aziz (975-996 M)
6.
Al–Hakim (996-1021 M)
7.
Azh–Zhahir (1021-1036 M)
8.
Al–Musthansir (1036-1094 M)
9. Al
Musta’li (1094-1101 M)
10.
Al–Amir (1101-1131 M)
11.
Al–Hafizh (1131-1149 M)
12.
Azh–Zhafir (1149-1154 M)
13.
Al–Faiz (1154-1160 M)
14.
Al–‘Adhid (1160–1171 M)[11]
B Kemajuan Dinasti Fatimiyah
Dinasti
Fatimiyah berhasil menjadi salah satu pusat pemerintahan Islam yang disegani.
Puncaknya, terjadi pada masa Al-Aziz (365-386 H/975-996 M). Ia adalah putra
dari Al-Muizz yang bernama Nizar dan bergelar al-Aziz (yang perkasa). Al-Aziz,
berhasil mengatasi persoalan keamanan di wilayah Suriah dan Palestina dan berhasil
meredam berbagai upaya pemberontakan yang terjadi di wilayah-wilayah
kekuasaannya.. Bahkan, pada masanya, istana dibangun dengan sangat megahnya hingga mampu menampung tamu sebanyak
30.000 orang, demikian juga masjid dibangun dengan megahnya, sektor perhubungan
lancar, keamanan terjamin, perekonomian dibangun, baik sektor pertanian,
perdagangan maupun industri, sesuai dengan perkembangan teknologi pada masa
itu.[12]
Dinasti
Fatimah mengalami kemajuan antara lain karena: militernya kuat, administrasi
pemerintahannya baik, ilmu pengetahuan berkembang, dan ekonominya stabil. Namun
setelah masa al-Aziz Dinasti Fatimiyah mengalami kemunduran dan akhirnya
hancur, setelah berkuasa selama 262 tahun.[13]
Tak
seperti pemerintahan dinasti lainnya, kemajuan Fatimiyah dalam administrasi
negara lebih berdasarkan pada kecakapan daripada keturunan. Anggota cabang
lain dalam Islām, seperti Sunni, sepertinya diangkat ke kedudukan pemerintahan
sebagaimana Syi'ah. Toleransi dikembangkan kepada non-Muslim seperti
orang-orang Kristen
dan Yahudi,
yang mendapatkan kedudukan tinggi dalam pemerintahan
dengan berdasarkan pada kemampuan.[14]
Selama
kurun waktu 262 tahun, Fatimiyah telah mencapai kemajuan yang pesat terutama
pada masa Al-Muiz, Al-Aziz dan Al-hakim. Kemajuan-kemajuan itu mencakup berbagai
bidang, yaitu :
a.
Kemajuan dalam hubungan perdagangan dengan Dunia non Islam, termasuk India dan
negeri-negeri Mediteramia yang Kristen.
b.
Kemajuan di bidang seni, dapat dilihat pada sejumlah dekorasi dan arsitektur
istana.
c. Dalam bidang
pengetahuan dengan dibangunnya Universitas Al–Azhar.
d. Di bidang ekonomi, baik
sektor pertanian, perdagangan maupun industri.
e. Di bidang keamanan.[15]
Di
antara peninggalan Dinasti Fatimiyah, ada dua bangunan yang amat bersejarah dan
keberadaannya hingga kini masih bisa dirasakan, bahkan mengalami perkembangan pesat.
Peninggalan-peninggalan itu adalah :
a.
Universitas Al–Azhar yang semula adalah masjid sebagai pusat kajian. Masjid ini
didirikan oleh al-Saqili pada tanggal 17 Ramadlan (970 M). Nama Al–Azhar
diambil dari al-Zahra, julukan Fatimah, putri Nabi SAW dan istri Ali bin Abi
Thalib, imam pertama Syi’ah.
b. Dar
al-Hikmah (Hall of Science), yang terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan
oleh al-Ma’mun di Baghdad.[16]
C Kemunduran Dinasti Fatimiyah
Kemunduran Dinasti Fatimiyah berawal pada
pemerintahan Khilafah al-Hâkim. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru
berumur 11 tahun. Al-Hâkim memerintah dengan tangan besi, masanya dipenuhi
dengan tindak kekerasan dan kekejaman. Ia membunuh beberapa orang wazirnya,
menghancurkan beberapa gereja kristen, termasuk sebuah gereja yang di dalamnya
terdapat Kuburan Suci umat Kristen. Maklumat penghancuran Kuburan Suci ini
ditandatangani oleh sekretarisnya yang beragama Kristen, Ibn Abdûn. Peristiwa
ini merupakan salah satu penyebab terjadinya Perang Salib.[17]
Ia memaksa umat Kristen dan Yahudi memakai jubah hitam, dan mereka hanya
diperbolehkan menunggangi keledai. Orang-orang Yahudi dan Nasrani dibunuh
dan aturan-aturan tidak ditegakan dengan konsisten. Ia juga dengan
mudah membunuh orang yang tidak disukainya, bahkan pernah membakar sebuah desa
tanpa alasan yang jelas. Kemudian pada tahun 381 H / 991 M ia menyerang Aleppo
dan berhasil merebut Homz dan Syaizar dari tangan penguasa Arab. Peristiwa
ini menimbulkan sikap oposan dari penduduk dan menyeret Daulah
Fatimiyah dalam konflik dengan Bizantium. Walaupun pada akhirnya al-Hâkim
berhasil mengadakan perjanjian damai dengan Bizantium selama sepuluh tahun.[18]
Al-Hâkim
kemudian memilih mengikuti perkembangan ekstrem ajaran Ismailiyah, dan
menyatakan dirinya sebagai penjelmaan Tuhan.[19]
Ia meninggalkan istana dan berkelana hingga akhirnya terbunuh di Mukatam pada
13 Pebruari 1021. Kemungkinan ia dibunuh oleh persekongkolan yang dipimpin adik
perempuannya, Sitt al-Mulûk, yang telah diperlakukan tidak hormat olehnya.[20]
Al-Hâkim kemudian digantikan oleh az-Zâhir,
anaknya sendiri. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berumur 16 tahun.
Pada mulanya Dinasti Fatimiyah didirikan oleh bangsa Arab dan orang Barbar,
tapi ketika masa az-Zâhir situasi berubah, khalifah lebih mendekati keturunan
Turki. Hal ini menjadi pemicu timbulnya pertikaian antara orang Turki dan suku
Barbar di dalam pemerintahan Fatimiyah. Az-Zâhir mendapat izin dari Konstantin
ke VIII agar namanya disebutkan dimasjid-masjid yang berada di bawah kekuasaan
sang kaisar. Ia juga mendapat izin untuk memperbaiki masjid yang berada di
Konstantinopel. Ini semua sebagai balasan terhadap restu sang khalifah untuk
membangun kembali gereja yang didalamnya terdapat Kuburan Suci, dimana dulu
gereja ini dihancurkan oleh al-Hâkim.
Setelah meninggal az-Zâhir kemudian
digantikan oleh anaknya sendiri yang baru berusia 11 tahun, yaitu al-Mustanshir.[21] Mulai masa ini sistem pemerintahan
Dinasti Fatimiyah berubah menjadi parlementer, artinya khalifah hanya berfungsi
sebagai simbol saja, sementara pemegang kekuasaan pemerintahan adalah para
mentri. Oleh karena itulah masa ini disebut “ahdu nufuzil wazara” (masa
pengaruh mentri-mentri).[22] Al-Mustanshir sebagaimana juga az-Zâhir
lebih mendekati keturunan Turki, hingga muncul dua kekuatan besar yaitu Turki
dan Barbar. Perang saudarapun tidak dapat dielakan. Setelah meminta bantuan Badrul Jamal dari Suriah,
khalifah dan orang Turki dapat mengalahkan Barbar, dan berakhirlah kekuasaan
orang Barbar di dalam Dinasti Fatimiyah.[23]
Pada masa al-Mustanshir ini kekuasaan
Dinasti Fatimiyah di wilayah Suriah mulai terkoyak dengan cepat.
Sementara di Palestina sering terjadi pemberontakan terbuka. Sebuah kekuatan
besar yang datang dari timur, yaitu bani Saljuk dari Turki, juga
membayang-bayangi. Pada waktu yang bersamaan propinsi-propinsi Fatimiyah di
Afrika memutuskan hubungan dengan pusat kekuasaan, bermaksud memerdekakan diri
dan kembali kepada sekutu lama mereka, Dinasti Abasiyyah. Pada tahun 1052, suku
Arab yang terdiri dari bani Hilal dan bani Sulaim yang mendiami dataran tinggi
Mesir memberontak. Mereka bergerak ke bagian barat dan berhasil menduduki
Tripoli dan Tunisia selama beberapa tahun.[24]
Sementara itu pada tahun 1071, sebagian
besar wilayah Sisilia, yang mengakui kedaulatan Fatimiyah dikuasai oleh bangsa
Normandia yang daerah kekuasaannya terus meluas hingga meliputi sebagian
pedalaman Afrika. Hanya kawasan Semenanjung Arab yang mengakui kekuasaan
Fatimiyah.
Az-Zâhir kemudian digantikan oleh
al-Mustanshir. Di masa ini terjadi kekacauan dimana-mana. Kericuhan dan
pertikaian terjadi antara orang-orang Turki, suku Barbar dan pasukan Sudan.
Kekuasaan negara lumpuh dan kelaparan yang terjadi selama tujuh tahun telah
melumpuhkan perekonomian negara. Di tengah kekacauan itu, pada tahun 1073
khalifah memanggil Badr al-Jamalî, orang Armenia bekas budak dari kegubernuran
Akka dan memberinya wewenang untuk bertindak sebagai wazir dan panglima
tertinggi. Amîr al-Juyûsî (komandan Perang) yang baru ini mengambil komando
dengan seluruh kekuatan yang ia punya untuk memadamkan berbagai kekacauan dan
memberikan nyawa baru pada pemerintahan Fatimiyah. Tapi usaha ini, yang juga
diteruskan oleh anak dan penerus al-Mustanshir yaitu al-Afdhal, tidak dapat
menahan kemunduran Dinasti ini.
Tahun-tahun terakhir dari kekuasaan
Dinasti Fatimiyah ditandai dengan munculnya perseteruan yang terus menerus
antara para wazir yang didukung oleh kelompok tentaranya masing-masing. Setelah
al-Mustanshir wafat, terjadi perpecahan serius dalam tubuh Ismailiah.
Perpecahan itu terjadi antara dua kelompok yang berada di belakang kedua anak
al-Mustansir yaitu Nizar dan al-Musta’li. Pendukung Nizar lebih aktif, ekstrim
dan menjadi gerakan pembunuh. Sedangkan pendukung al-Musta’li lebih moderat.
Akhirnya yang terpilih menjadi khalifah adalah al-Musta’li karena ia didukung
oleh al-Afdhal. Al-Afdhal mendukung al-Musta’li dengan harapan ia akan
memerintah dibawah pengaruhnya. Akan tetapi basis spiritual Ismailiah menjadi
runtuh. Setelah al-Musta’li wafat, al-Amin, anak al-Musta’li yang baru berumur
lima tahun diangkat sebagai khalifah.
Al-Amin kemudian digantikan
oleh al-Hafidz. Ketika ia meninggal kekuasaannya benar-benar hanya sebatas
istana kekhalifahan saja. Anak dan penggantinya, az-Zhafir diangkat menjadi
khalifah dalam usia yang masih sangat muda hingga, merasa tidak mampu
menghadapi tentara salib, khalifah az-Zafir melalui wazirnya Ibnu Salar,
meminta bantuan kepada Nuruddin az-Zanki, penguasa Suriah di bawah kekuasaan
Baghdad. Nurudin mengirim pasukannya ke Mesir di bawah panglima Syirkuh dan
Salahuddin Yusuf bin al-Ayubi yang kemudian berhasil membendung invasi tentara
salib ke Mesir. Kemudian kekuasaan az-Zafir direbut oleh wazirnya,
Ibnu Sallar. Tapi Ibnu Sallar kemudian dibunuh, dan az-Zafir juga terbunuh
secara misterius. Kemudian naiklah al-Faiz, anak az-Zhafir yang baru berusia
empat tahun, sebagai khalifah. Khalifah kdcil ini meninggal dalam usia 11 tahun
dan digantikan oleh sepupunya al-Adhid yang baru berumur sembilan tahun.[25]
Maka pada tahun 1167 M pasukan Nuruddin az-Zanki untuk kedua kalinya kembai
memasuki Mesir di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin. Kedatangan mereka kali
ini tidak hanya membantu melawan kaum salib tetapi juga untuk menguasai Mesir.
Daripada Mesir dikuasai tentara salib, lebih baik mereka sendiri yang
menguasainya. Apalagi Perdana Mentri Mesir waktu itu, Syawar, telah melakukan
penghianatan. Akhirnya pasukan Nuruddin berhasil mengalahkan tentara
salib dan menguasai Mesir.[26]
Semenjak itu kedudukan Salahuddin di Mesir
semakin mantap. Apalagi ia mendapat dukungan dari masyarakat yang mayoritas
sunni. Peristiwa ini menyebabkan menguatnya pengaruh Nuruddin Zangki dan
panglimanya Salahuddin al-Ayubi. Puncaknya terjadi pada masa al-Adid, pada masa
pemerintahannya Salahuddin telah menduduki jabatan wazir. Dengan kekuasaannya
Salahuddin menghormati dan memberikan kesempatan kepada orang-orang Fathimy.[27]
Namun ketika al-Adhid jatuh sakit pada tahun 555 H / 1160 M, Salahudin al-Ayubi
mengadakan pertemuan dengan para pembesar untuk menyelengarakan khutbah dengan
menyebut nama khalifah Abasiyyah, al-Mustadi. Ini adalah simbol dari runtuh dan
berakhirnya kekuasaan Dinasti Fatimiyah untuk kemudian digantikan oleh Dinasti
Ayubiyyah.[28]
Keruntuhan
Dinasti Fatimiyah disebabkan oleh beberapa kelemahan yang ada pada masa
pemerintahannya. Kelemahan-kelemahan
itu antara lain:
1.
Sistem pemerintahan berubah menjadi sistem parlementer.
2.
Terjadinya persaingan perebutan
wazir.
3.
Adanya resistensi dari orang-orang Sunni dan Nasrani di Mesir.
4.
Terjadinya perebutan kekuasaan antara bangsa Barbar dan bangsa Turki
terutama dalam bidang militer.
5.
Adanya pemaksaan ideologi syi’ah kepada rakyat
yang mayoritas sunni.
6.
Datangnya serbuan dari tentara salib.
7.
Lemahnya para khilafah.
8.
Perluasan wilayah difokuskan ke bagian Timur sementara pembinaan di Afrika
Utara terabaikan sehingga menyebabkan berkurangnya pengaruh Dinasti Fatimiyah
di sana. Akhirnya Afrika
Utara melepaskan diri dan membentuk pemerintahan sendiri.
9.
Para penguasanya selalu tenggelam dalam kehidupan
yang mewah.
10.
Kondisi al-‘Adhid (sakit) yang
dimanfaatkan oleh Nur ad-Din.
BAB
III
PENUTUP
Dari uraian dan
pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Dinasti Fatimiyah didirikan oleh Said ibn Husayn (Ubaidillah
al-Mahdi) berpusat di Maroko, dengan ibukotanya al-Manshur-iyah
2.
Kemajuan Dinasti Fatimiyah
puncaknya terjadi pada masa Al-Aziz. Ia adalah putra dari Al-Muizz yang bernama
Nizar dan bergelar al-Aziz (yang perkasa). Al-Aziz, berhasil mengatasi
persoalan keamanan di wilayah Suriah dan Palestina dan berhasil meredam
berbagai upaya pemberontakan yang terjadi di wilayah-wilayah kekuasaannya..
Bahkan, pada masanya, istana
dibangun dengan sangat megahnya hingga mampu menampung tamu sebanyak 30.000
orang, demikian juga masjid dibangun dengan megahnya, sektor perhubungan
lancar, keamanan terjamin, perekonomian dibangun, baik sektor pertanian,
perdagangan maupun industri, sesuai dengan perkembangan teknologi pada masa
itu. Dinasti Fatimah mengalami kemajuan antara lain karena: militernya
kuat, administrasi pemerintahannya baik, ilmu pengetahuan berkembang, dan
ekonominya stabil.
3.
Keruntuhan Dinasti
Fatimiyah disebabkan oleh beberapa kelemahan yang ada pada masa
pemerintahannya. Kelemahan-kelemahan
itu antara lain: sistem pemerintahan
berubah menjadi sistem parlementer, terjadinya persaingan perebutan wazir, adanya resistensi dari orang-orang Sunni dan
Nasrani di Mesir, terjadinya perebutan kekuasaan antara bangsa Barbar dan
bangsa Turki terutama dalam bidang militer, adanya pemaksaan ideologi syi’ah kepada rakyat yang
mayoritas sunni, datangnya
serbuan dari tentara salib, lemahnya para khilafah, perluasan wilayah
difokuskan ke bagian Timur sementara pembinaan di Afrika Utara terabaikan
sehingga menyebabkan berkurangnya pengaruh Dinasti Fatimiyah di sana. Akhirnya Afrika Utara melepaskan diri dan
membentuk pemerintahan sendiri, dan para penguasanya selalu tenggelam dalam
kehidupan yang mewah, serta kondisi al-‘Adhid (sakit) yang dimanfaatkan oleh Nur ad-Din.
DAFTAR PUSTAKA
Ensiklopedi Islam; ……….. ; Ichtiar Baru van Hoeve;
Jakarta; Jilid 2.
Ensiklopedi Islam; Mukti Ali dkk; Departemen Agama RI;
1988; Jilid 1.
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Taufik Abdullah dkk
(ed); Ichtiar Baru van Hoeve; Jakarta; Jilid 2.
History of
the Arabs (terj); Philip K. Hitti; Serambi; Jakarta; 2006; cet.II.
[2] Ibid
[3] Philip
K. Hitti, History of The Arabs, (New York : Palgrave Macmillan, 2002) h. 787
[4] Ibid
[5] Philip
K. Hitti, History of The Arabs, (New York : Palgrave Macmillan, 2002) h. 787
[7] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid
[12] Ensiklopedi Islam; ……….. ; Ichtiar Baru
van Hoeve; Jakarta; Jilid 2; hal. 4
[13] Ibid
[16] Ibid
[17] History
of the Arabs (terj); Philip K. Hitti; Serambi; Jakarta; 2006; cet.II; hal. 792.
[18] Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Taufik
Abdullah dkk (ed); Ichtiar Baru van Hoeve; Jakarta; Jilid 2; hal. 135.
[19] Keyakinannya ini kemudian diterima dan
diakui oleh sekte Drusiyah (Druze).
[20] History
of the Arabs (terj); Philip K. Hitti; Serambi; Jakarta; 2006; cet.II; hal. 793.
[21] Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Taufik
Abdullah dkk (ed); Ichtiar Baru van Hoeve; Jakarta; Jilid 2; hal. 135.
[22] Ensiklopedi Islam; Mukti Ali dkk;
Departemen Agama RI; 1988; Jilid 1; hal. 287
[23] Ibid
[24] History
of the Arabs (terj); Philip K. Hitti; Serambi; Jakarta; 2006; cet.II; hal. 794.
[25] History
of the Arabs (terj); Philip K. Hitti; Serambi; Jakarta; 2006; cet.II; hal. 796.
[26] Ensiklopedi Islam; ……….. ; Ichtiar Baru
van Hoeve; Jakarta; Jilid 2; hal. 6
[27] Ensiklopedi Islam; Mukti Ali dkk; Departemen
Agama RI; 1988; Jilid 1; hal. 287
[28] Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Taufik
Abdullah dkk (ed); Ichtiar Baru van Hoeve; Jakarta; Jilid 2; hal. 136
Tidak ada komentar:
Posting Komentar