Selasa, 02 Oktober 2012

DINASTI FATIMIYAH


DINASTI FATIMIYAH

Oleh : Narto (sabdonarto@gmail.com)


BAB I
PENDAHULUAN

A Latar Belakang
Kejayaan Islam (the golden age of Islam) ditandai dengan penyebaran agama Islam hingga ke benua Eropa. Pada masa itulah berdiri sejumlah pemerintahan atau kekha-lifahan Islamiyah. Seperti dinasti Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah, Turki Utsmani dan Ayyubiyah.[1]
Selain penyebaran agama, kemajuan Islam juga ditandai dengan kegemilangan peradaban Islam. Banyak tokoh-tokoh Muslim yang muncul sebagai cendekiawan dan memiliki pengaruh besar dalam dunia peradaban hingga saat ini. Namun, setelah perebutan kekuasaan dan kepemimpinan yang kurang cakap, akibatnya pemerintahan Islam mengalami kemunduran. Salah satunya adalah dinasti Fatimiyah.[2]
Dinasti Fatimimiyah adalah satu-satunya Dinasti Syiah dalam Islam.[3] Dinasti ini didirikan di Tunisia pada 909 M, sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu yang berpusat di Baghdad, yaitu Bani Abbasiyah.[4].
B Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut :
  1. Bagaimanakah sejarah berdirinya Dinasti Fatimiyah ?
  2. Bagaimanakah kemajuan yang dicapai oleh Dinasti Fatimiyah ?
  3. Mengapa Dinasti Fatimiyah mengalami kemunduran ?

C Tujuan Pembahasan

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka penulis dapat menentukan tujuan pembahasan makalah sebagai berikut :
  1. Ingin mengetahui sejarah berdirinya Dinasti Fatimiyah.
  2. Ingin mengetahui kemajuan yang telah dicapai oleh Dinasti Fatimiyah.
  3. Ingin mengetahui penyebab kemunduran Dinasti Fatimiyah.
























BAB II
PEMBAHASAN

A  Sejarah Berdirinya Dinasti Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah didirikan oleh Said ibn Husayn, kemungkinan keturunan pendiri kedua sekte Ismailiyah, seorang Persia yang bernama Abdulllah ibn Maimun. Kemunculan Said, penerus Ibn Maimun yang sangat mencengangkan ini merupakan puncak dari propaganda sekte Ismailiyah yang terampil dan teroganisir dengan baik. Keberhasilan ini tidak bisa dilepaskan dari upaya personal dai (propagandis) utama sekte ini, yaitu Abu Abdullah al Husayn al-Syi’i.[5]
Dinasti Fatimiyah merupakan Dinasti Syi’ah Isma’iliyah yang pendirinya menisbahkan nasabnya sampai ke Fatimah putri Rasulullah dan isteri Khalifah keempat Ali bin Abi Thalib. Karena itu dikenal dengan Dinasti Fatimiyah. Namun kalangan Sunni mengatakan Ubaidiyun. Konsep yang digunakan adalah Syi’ah radikal Isma’iliyah dengan doktrin-doktrinnya yang berdimensi politik, agama, filsafat, dan sosial. Serta para pengikutnya mengharapkan kemunculan al–Mahdy.[6]
Ubaidillah bersama keluarga dan para pengikutnya, Ismailiyah menyebar di wilayah Salamiyah, sebuah pusat kaum Ismailiyah di Suriah. Dengan dukungan kaum Barbar, pertama dapat mengalahkan Gubernur- Gubernur Aghlabiyah di Ifriqia, Rustinia Khoriji di Tahar dan menjadikan Idrisiyah Fez sebagai bawahannya, saat pemerintahan pertama kali di al-Mahdiyah sekitar Qairawan. Maka pada tahun 297 H atau 909 M, ia dilantik menjadi khalifah. Pada masa kepemimpinannya, pemerintahan Dinasti Fatimiyah berpusat di Maroko, dengan ibukotanya al-Manshur-iyah.[7] Dinasti Fatimiyah mengembangkan sayapnya ke daerah sekitarnya serta menduduki Mesir yang kemudian mendirikan kota baru yang diberi nama Kairo (al-Qohirah “yang berjaya”) atas prakarsa Jenderal Jauhar Atsaqoli.[8]
Dinasti Fatimiyah menjalankan roda pemerintahan di Maroko selama 24 tahun yang di pimpin oleh empat orang khalifah, termasuk Ubaidillah al-Mahdi. Tiga orang khalifah Dinasti Fatimiyah lainnya yang pernah memerintah di Maroko adalah al-Qaim (322-323 H/934-946 M), al-Manshur (323-341 H/946-952 M), dan al-Muizz (341-362 H/952-975 M).[9]
Dalam perjalanan pemerintahannya, Daulah Fathimiyyah melalui dua fase, yaitu :[10]
  1. Fase Konsolidasi (969-1021 M)
Pada fase ini sempat terjadi perang saudara antara Turki dan Barbar, yang keduanya merupakan kelompok yang turut mendirikan Dinasti Fathimiyyah. Barbar memberikan dukungan sepenuhnya kepada Daulah Fathimiyyah karena awalnya Barbar-lah yang mengusai anggota pemerintahan. Banyak diantara bangsa Barbar yang diangkat menjadi pejabat pemerintahan. Keadaan ini berlangsung sampai masa pemerintahan Al – Muizz li Dinillah. Sedangkan pada masa pemerintahan Az Zahir dan Al – Munthasir Khalifah lebih dekat dengan keturunan Turki. Sehingga muncullah dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar, sejak saat itulah Barbar kehilangan kedudukan dalam pemerintahan. Untuk lebih mengenal keadaan dalam fase ini, baik tentang Khalifah, roda pemerintahan, kebijakan pemerintah, dan situasi yang dihadapinya, akan dijelaskan sebagai berikut :
a) Al–Mahdi (909-924 M)
Ubaidillah al–Mahdi adalah Khalifah pertama Dinasti Fathimiyyah. Ia datang dari Afrika Utara, dimana propaganda Syi’ah telah menciptakan kondisi yang baik bagi kedatangannya. Dengan dukungan kaum Barbar dalam menumbangkan Gubernur-Gubernur Aghlabiyah di Ifriqiyyah dan Rustamiyah Khariji di Tahari, dan menjadikan Idrisiyah Fez sebagai bawahannya. Pada tahun 909 M, dialah yang memproklamasikan berdirinya khilafah Fathimiyyah yang terlepas dari kekuasaan Abbasiyah. Ia dibantu oleh Abdullah Asy-Syafi’i dalam mengkonsolidasikan khilafahannya di Tunisia. Dalam proses tersebut, pada tahun 920 M, ia telah berhasil mendirikan sebuah kota yang baru dan dijadikan sebagai ibukota, yaitu Mahdiah yang terletak di pesisir pantai Tunisia. Selama menjalankan pemerintahannya, ia telah berhasil menghalau para pemberontak yang dipimpin oleh Abu Abdullah al Husyain dan memperluas wilayahnya sampai propinsi Fez di Maroko bahkan telah merebut Alexandria. Perlawanan juga datang dari kelompok pendukung Abbasiyah, kelompok yang berafiliasi ke Dinasti Umayah di Andalusia maupun kelompok Khawarij dan Barbar.

b) Al–Qa’im ((924-946 M)
Setelah al–Mahdi meninggal, ia diganti oleh putranya yang bernama Abdul Qasim dan bergelar Al–Qa’im. Ia meneruskan kebijakan yang diambil ayahnya dengan mengirimkan armadanya dan mampu menghancurkan pesisir selatan Perancis, Genoa dan sepanjang pesisir Calabria tahun 934 M. Akan Tetapi ia tidak berhasil dalam memadamkan pemberontakan oleh Abu Yazid yang berlangsung selama tujuh tahun. Abu Yazid yang berulangkali menaklukan pasukan Al–Qa’im akhirnya berhasil mengepung Susa. Dengan wafatnya Al–Qa’im pada tahun 946 M, maka berakhirlah kekuasaannya dan dilanjutkan oleh putranya Al–Manshur.
c) Al–Manshur (946-953 M)
Perjuangan yang dilakukan oleh ayahnya telah mencapai keberhasilan yang gemilang dibawah kekuasaannya. Ia adalah seorang pemuda yang cerdik dan energik hingga ia berhasil menghentikan pemberontakan Abu Yazid yang terjadi di masa pemerintahan ayahnya. Ia berhasil menundukkan Abu Yazid dan pasukannya. Bahkan mereka turut membantu ekspansi hingga ke seluruh Afrika, disanalah ia membuat kota yang diberi nama al–Mashuriyah.

d) Al–Mu’iz (953-975 M)
Keberhasilan yang telah dicapai Al–Manshur dilanjutkan oleh putranya yang bernama Abu Tamim Ma’ad dengan gelar al Mu’iz. Ia telah membuat pencerahan pada Dinasti Fathimiyyah, dengan melaksanakan kebijaksanaan besar, yaitu :
a.         Pembaharuan dalam bidang administrasi dengan mengangkat seorang wazir (menteri) untuk melaksanakan tugas-tugas kenegaraan.
b.         Pembangunan ekonomi, dengan memberi gaji khusus pada tentara, personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya.
c.         Toleransi beragama (juga aliran) dengan mengadakan empat lembaga, peradilan di Mesir, dua untuk madhab syi’ah dan untuk madhab sunni.
  Setelah basis kekuasaan di Tunis kuat, Khalifah Fathimiyyah dapat menguasai Mesir pada tahun 969 M. Penguasaan ini diawali dengan diutusnya panglima Jauhar al–Katib as– Siqili dengan perlengkapan dan kekayaan yang diperoleh dari basis mereka di Ifriqiyah sebagai persiapan ke arah Timur. Jauhar berhasil memasuki Fustat dan menyingkirkan Dinasti Ikhsidiyyah. Setelah Mesir dapat dikuasai, ia membangun sebuah ibukota baru di Mesir yaitu Kairo Baru (al–Qahirah,artinya yang berjaya). Kairo dibangun dengan sejumlah istana kebesaran dan masjid-masjid agung yang merupakan sebuah kota kerajaan yang dirancang sebagai wujud bagi kebesaran kerajaan. Masjid itu adalah masjid Al Azhar yang berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan pengembangan ilmu pengetahuan dan selanjutnya masjid ini menjadi sebuah lembaga akademik dan pada kurun waktu itu Al Azhar menjadi Universitas yang sangat terkenal dikalangan akademik. Selama 23 tahun, masa kepemimpinan al-Mu’iz, pemerintahannya berjalan gemilang. Ia meninggal pada tahun 975 M. Dialah Khalifah termashur dalam kekhalifahan Fathimiyyah di Mesir. Ia mempunyai kelebihan–kelebihan baik di bidang seni, satra dan pengajaran ditambah dengan pengetahuannya yang luas, maka tidak heran jika pada masa Al–Muiz inilah awal kemajuan Fathimiyyah.

e) Al–‘Aziz (975-996 M)
Al–Aziz putra Al–Muiz dengan sifat pemberani, bijaksana, penyayang, ramah dan pendamai membuatnya berhasil mengadakan ekspansi wilayah secara besar-besaran. Seluruh Syiria sebagian Mesopotamia, dan dari pesisir Eupharates sampai Atlantik telah berhasil dikuasainya, bahkan saat itu Fathimiyyah menjadi rival yang berat bagi Abbasiyah di Baghdad. Rupanya ia mewarisi keahlian ayahnya dibidang seni. Ini tampak pada arsitektur Golde Palace (tempat yang sangat indah), The Perl Pavilion (Paviliun terbuat dari mutiara) dan masjid ayahnya di kuburan Karava. Pada masa inilah Dinasti Fathimiyyah mencapai puncak kejayaannya.

f) Al-Hakim (996-1021 M)
Al–Hakim adalah seorang penguasa yang sangat kejam, ia membunuh sejumlah tokoh kerajaan tanpa alasan. Ini disebabkan karena usianya yang masih muda (11 tahun) ketika menjadi penguasa menggantikan ayahnya pada tahun 996 M, sehingga dengan mudah gubernurnya yang tak bermoral yang bernama Barjawan dapat menguasainya dengan penuh. Pada awal pemerintahannya, tidak ada kestabilan. Secara komparatif kaum Kristen dan Yahudi diperlakukan dengan baik. Bahkan sebagian dari mereka menduduki jabatan yang tinggi dalam negara. Selama pemerintahan Al–Hakimlah gerakan religius Syi’i yang ekstrem, yaitu Druze muncul di Suriah Selatan dan Lebanon, karena Al–Hakim memberikan semangat pada pendirinya, yaitu da’i Al–Darazi, maka Druze memandang Khalifah Al–Hakim sebagai titisan Tuhan.
Meskipun kekejaman mewarnai kekhalifahannya, ia berhasil membangun banyak masjid, dan bangunan yang paling terkenal sampai sekarang yaitu Dar al-Hikmah yang dibangun tahun 1306 M, tempat bertemunya berbagai pujangga dan mempromosikan pendidikan dan Syiah.

2. Fase Parlementer
Setelah melalui fase konsolidasi, selanjutnya Dinasti Fathimiyyah memasuki fase parlementer. Suatu fase dimana banyak sekali muncul permasalahan–permasalahan yang rumit sebagai suatu kelanjutan dari kekuasaan/kejayaan yang dicapai pada fase konsolidasi. Masa ini disebut juga dengan “Ahdu Mufuzil Awzara” atau masa pengaruh menteri-menteri mulai dari Az Zahir, sampai dengan Al ‘Adhid. Pada fase ini memperlihatkan kemunduran tatanan politik, yakni periode peperangan antar fraksi-fraksi militer dan pembagian negeri ini menjadi sejumlah iqta’ yang dikuasai oleh pejabat-pejabat militer yang berpengaruh. Sebuah peperangan telah terjadi dalam fase ini yakni perang Salib. Perang yang terjadi di awal kekuasaan al-Munthasir ini diawali dengan ekspansi yang dilakukan Fathimiyyah dari Mesir sampai ke Palestina dan Syiria.
Fathimiyyah adalah Dinasti syi’ah yang dipimpin oleh 14 Khalifah atau imam di Afrika dan Mesir tahun 909–1171 M, selama lebih kurang 262 tahun. Para khalifah pada Dinasti Fatimiyah adalah :
1. ‘Ubaidillah al Mahdi (909-924 M)
2. Al–Qa’im (924-946 M)
3. Al–Manshur (946-953 M)
4. Al–Mu’izz (953-975 M)
5. Al–‘Aziz (975-996 M)
6. Al–Hakim (996-1021 M)
7. Azh–Zhahir (1021-1036 M)
8. Al–Musthansir (1036-1094 M)
9. Al Musta’li (1094-1101 M)
10. Al–Amir (1101-1131 M)
11. Al–Hafizh (1131-1149 M)
12. Azh–Zhafir (1149-1154 M)
13. Al–Faiz (1154-1160 M)
14. Al–‘Adhid (1160–1171 M)[11]

B  Kemajuan Dinasti Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah berhasil menjadi salah satu pusat pemerintahan Islam yang disegani. Puncaknya, terjadi pada masa Al-Aziz (365-386 H/975-996 M). Ia adalah putra dari Al-Muizz yang bernama Nizar dan bergelar al-Aziz (yang perkasa). Al-Aziz, berhasil mengatasi persoalan keamanan di wilayah Suriah dan Palestina dan berhasil meredam berbagai upaya pemberontakan yang terjadi di wilayah-wilayah kekuasaannya.. Bahkan, pada masanya, istana dibangun dengan sangat megahnya hingga mampu menampung tamu sebanyak 30.000 orang, demikian juga masjid dibangun dengan megahnya, sektor perhubungan lancar, keamanan terjamin, perekonomian dibangun, baik sektor pertanian, perdagangan maupun industri, sesuai dengan perkembangan teknologi pada masa itu.[12]
Dinasti Fatimah mengalami kemajuan antara lain karena: militernya kuat, administrasi pemerintahannya baik, ilmu pengetahuan berkembang, dan ekonominya stabil. Namun setelah masa al-Aziz Dinasti Fatimiyah mengalami kemunduran dan akhirnya hancur, setelah berkuasa selama  262 tahun.[13]
Tak seperti pemerintahan dinasti lainnya, kemajuan Fatimiyah dalam administrasi negara lebih berdasarkan pada kecakapan daripada keturunan. Anggota cabang lain dalam Islām, seperti Sunni, sepertinya diangkat ke kedudukan pemerintahan sebagaimana Syi'ah. Toleransi dikembangkan kepada non-Muslim seperti orang-orang Kristen dan Yahudi, yang mendapatkan kedudukan tinggi dalam pemerintahan dengan berdasarkan pada kemampuan.[14]
Selama kurun waktu 262 tahun, Fatimiyah telah mencapai kemajuan yang pesat terutama pada masa Al-Muiz, Al-Aziz dan Al-hakim. Kemajuan-kemajuan itu mencakup berbagai bidang, yaitu :
a. Kemajuan dalam hubungan perdagangan dengan Dunia non Islam, termasuk India dan negeri-negeri Mediteramia yang Kristen.
b. Kemajuan di bidang seni, dapat dilihat pada sejumlah dekorasi dan arsitektur istana.
c. Dalam bidang pengetahuan dengan dibangunnya Universitas Al–Azhar.
d. Di bidang ekonomi, baik sektor pertanian, perdagangan maupun industri.
e. Di bidang keamanan.[15]
Di antara peninggalan Dinasti Fatimiyah, ada dua bangunan yang amat bersejarah dan keberadaannya hingga kini masih bisa dirasakan, bahkan mengalami perkembangan pesat. Peninggalan-peninggalan itu adalah :
a. Universitas Al–Azhar yang semula adalah masjid sebagai pusat kajian. Masjid ini didirikan oleh al-Saqili pada tanggal 17 Ramadlan (970 M). Nama Al–Azhar diambil dari al-Zahra, julukan Fatimah, putri Nabi SAW dan istri Ali bin Abi Thalib, imam pertama Syi’ah.
b. Dar al-Hikmah (Hall of Science), yang terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan oleh al-Ma’mun di Baghdad.[16]




C  Kemunduran Dinasti Fatimiyah
Kemunduran Dinasti Fatimiyah berawal pada pemerintahan Khilafah al-Hâkim. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berumur 11 tahun. Al-Hâkim memerintah dengan tangan besi, masanya dipenuhi dengan tindak kekerasan dan kekejaman. Ia membunuh beberapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja kristen, termasuk sebuah gereja yang di dalamnya terdapat Kuburan Suci umat Kristen. Maklumat penghancuran Kuburan Suci ini ditandatangani oleh sekretarisnya yang beragama Kristen, Ibn Abdûn. Peristiwa ini merupakan salah satu penyebab terjadinya Perang Salib.[17] Ia memaksa umat Kristen dan Yahudi memakai jubah hitam, dan mereka hanya diperbolehkan menunggangi keledai.  Orang-orang Yahudi dan Nasrani dibunuh dan aturan-aturan tidak ditegakan dengan konsisten.  Ia juga dengan mudah membunuh orang yang tidak disukainya, bahkan pernah membakar sebuah desa tanpa alasan yang jelas. Kemudian pada tahun 381 H / 991 M ia menyerang Aleppo dan berhasil merebut Homz dan Syaizar dari tangan penguasa Arab. Peristiwa  ini menimbulkan sikap oposan dari penduduk dan menyeret  Daulah Fatimiyah  dalam konflik dengan Bizantium. Walaupun pada akhirnya al-Hâkim berhasil mengadakan perjanjian damai dengan Bizantium selama sepuluh tahun.[18]
Al-Hâkim kemudian memilih mengikuti perkembangan ekstrem ajaran Ismailiyah, dan menyatakan dirinya sebagai penjelmaan Tuhan.[19] Ia meninggalkan istana dan berkelana hingga akhirnya terbunuh di Mukatam pada 13 Pebruari 1021. Kemungkinan ia dibunuh oleh persekongkolan yang dipimpin adik perempuannya, Sitt al-Mulûk, yang telah diperlakukan tidak hormat olehnya.[20]
Al-Hâkim kemudian digantikan oleh az-Zâhir, anaknya sendiri. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berumur 16 tahun. Pada mulanya Dinasti Fatimiyah didirikan oleh bangsa Arab dan orang Barbar, tapi ketika masa az-Zâhir situasi berubah, khalifah lebih mendekati keturunan Turki. Hal ini menjadi pemicu timbulnya pertikaian antara orang Turki dan suku Barbar di dalam pemerintahan Fatimiyah. Az-Zâhir mendapat izin dari Konstantin ke VIII agar namanya disebutkan dimasjid-masjid yang berada di bawah kekuasaan sang kaisar. Ia juga mendapat izin untuk memperbaiki masjid yang berada di Konstantinopel. Ini semua sebagai balasan terhadap restu sang khalifah untuk membangun kembali gereja yang didalamnya terdapat Kuburan Suci, dimana dulu gereja ini dihancurkan oleh al-Hâkim.
Setelah meninggal az-Zâhir kemudian digantikan oleh anaknya sendiri yang baru berusia 11 tahun, yaitu al-Mustanshir.[21]  Mulai masa ini sistem pemerintahan Dinasti Fatimiyah berubah menjadi parlementer, artinya khalifah hanya berfungsi sebagai simbol saja, sementara pemegang kekuasaan pemerintahan adalah para mentri. Oleh karena itulah masa ini disebut “ahdu nufuzil wazara” (masa pengaruh mentri-mentri).[22] Al-Mustanshir sebagaimana juga az-Zâhir lebih mendekati keturunan Turki, hingga muncul dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar. Perang saudarapun tidak dapat dielakan. Setelah meminta bantuan Badrul Jamal dari Suriah, khalifah dan orang Turki dapat mengalahkan Barbar, dan berakhirlah kekuasaan orang Barbar di dalam Dinasti Fatimiyah.[23]
Pada masa al-Mustanshir ini kekuasaan Dinasti Fatimiyah di wilayah Suriah mulai terkoyak dengan cepat.  Sementara di Palestina sering terjadi pemberontakan terbuka. Sebuah kekuatan besar yang datang dari timur, yaitu bani Saljuk dari Turki, juga membayang-bayangi. Pada waktu yang bersamaan propinsi-propinsi Fatimiyah di Afrika memutuskan hubungan dengan pusat kekuasaan, bermaksud memerdekakan diri dan kembali kepada sekutu lama mereka, Dinasti Abasiyyah. Pada tahun 1052, suku Arab yang terdiri dari bani Hilal dan bani Sulaim yang mendiami dataran tinggi Mesir memberontak. Mereka bergerak ke bagian barat dan berhasil menduduki Tripoli dan Tunisia selama beberapa tahun.[24]
Sementara itu pada tahun 1071, sebagian besar wilayah Sisilia, yang mengakui kedaulatan Fatimiyah dikuasai oleh bangsa Normandia yang daerah kekuasaannya terus meluas hingga meliputi sebagian pedalaman Afrika. Hanya kawasan Semenanjung Arab yang mengakui kekuasaan Fatimiyah.
Az-Zâhir kemudian digantikan oleh al-Mustanshir. Di masa ini terjadi kekacauan dimana-mana. Kericuhan dan pertikaian terjadi antara orang-orang Turki, suku Barbar dan pasukan Sudan. Kekuasaan negara lumpuh dan kelaparan yang terjadi selama tujuh tahun telah melumpuhkan perekonomian negara. Di tengah kekacauan itu, pada tahun 1073 khalifah memanggil Badr al-Jamalî, orang Armenia bekas budak dari kegubernuran Akka dan memberinya wewenang untuk bertindak sebagai wazir dan panglima tertinggi. Amîr al-Juyûsî (komandan Perang) yang baru ini mengambil komando dengan seluruh kekuatan yang ia punya untuk memadamkan berbagai kekacauan dan memberikan nyawa baru pada pemerintahan Fatimiyah. Tapi usaha ini, yang juga diteruskan oleh anak dan penerus al-Mustanshir yaitu al-Afdhal, tidak dapat menahan kemunduran Dinasti ini.
Tahun-tahun terakhir dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah ditandai dengan munculnya perseteruan yang terus menerus antara para wazir yang didukung oleh kelompok tentaranya masing-masing. Setelah al-Mustanshir wafat, terjadi perpecahan serius dalam tubuh Ismailiah. Perpecahan itu terjadi antara dua kelompok yang berada di belakang kedua anak al-Mustansir yaitu Nizar dan al-Musta’li. Pendukung Nizar lebih aktif, ekstrim dan menjadi gerakan pembunuh. Sedangkan pendukung al-Musta’li lebih moderat. Akhirnya yang terpilih menjadi khalifah adalah al-Musta’li karena ia didukung oleh al-Afdhal. Al-Afdhal mendukung al-Musta’li dengan harapan ia akan memerintah dibawah pengaruhnya. Akan tetapi basis spiritual Ismailiah menjadi runtuh. Setelah al-Musta’li wafat, al-Amin, anak al-Musta’li yang baru berumur lima tahun diangkat sebagai khalifah.
Al-Amin kemudian   digantikan oleh al-Hafidz. Ketika ia meninggal kekuasaannya benar-benar hanya sebatas istana kekhalifahan saja. Anak dan penggantinya, az-Zhafir diangkat menjadi khalifah dalam usia yang masih sangat muda hingga, merasa tidak mampu menghadapi tentara salib, khalifah az-Zafir melalui wazirnya Ibnu Salar, meminta bantuan kepada Nuruddin az-Zanki, penguasa Suriah di bawah kekuasaan Baghdad. Nurudin mengirim pasukannya ke Mesir di bawah panglima Syirkuh dan Salahuddin Yusuf bin al-Ayubi yang kemudian berhasil membendung invasi tentara salib ke Mesir.  Kemudian kekuasaan az-Zafir direbut  oleh wazirnya, Ibnu Sallar. Tapi Ibnu Sallar kemudian dibunuh, dan az-Zafir juga terbunuh secara misterius. Kemudian naiklah al-Faiz, anak az-Zhafir yang baru berusia empat tahun, sebagai khalifah. Khalifah kdcil ini meninggal dalam usia 11 tahun dan digantikan oleh sepupunya al-Adhid yang baru berumur sembilan tahun.[25] Maka pada tahun 1167 M pasukan Nuruddin az-Zanki untuk kedua kalinya kembai memasuki Mesir di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin. Kedatangan mereka kali ini tidak hanya membantu melawan kaum salib tetapi juga untuk menguasai Mesir. Daripada Mesir dikuasai tentara salib, lebih baik mereka sendiri yang menguasainya. Apalagi Perdana Mentri Mesir waktu itu, Syawar, telah melakukan penghianatan. Akhirnya  pasukan Nuruddin berhasil mengalahkan tentara salib dan menguasai Mesir.[26]
Semenjak itu kedudukan Salahuddin di Mesir semakin mantap. Apalagi ia mendapat dukungan dari masyarakat yang mayoritas sunni. Peristiwa ini menyebabkan  menguatnya pengaruh Nuruddin Zangki dan panglimanya Salahuddin al-Ayubi. Puncaknya terjadi pada masa al-Adid, pada masa pemerintahannya Salahuddin telah menduduki jabatan wazir. Dengan kekuasaannya Salahuddin menghormati dan memberikan kesempatan kepada orang-orang Fathimy.[27] Namun ketika al-Adhid jatuh sakit pada tahun 555 H / 1160 M, Salahudin al-Ayubi mengadakan pertemuan dengan para pembesar untuk menyelengarakan khutbah dengan menyebut nama khalifah Abasiyyah, al-Mustadi. Ini adalah simbol dari runtuh dan berakhirnya kekuasaan Dinasti Fatimiyah untuk kemudian digantikan oleh Dinasti Ayubiyyah.[28]
Keruntuhan Dinasti Fatimiyah disebabkan oleh beberapa kelemahan yang ada pada masa pemerintahannya. Kelemahan-kelemahan itu antara lain:
1.        Sistem pemerintahan berubah menjadi sistem parlementer.
2.                                   Terjadinya persaingan perebutan wazir.
3.        Adanya resistensi dari orang-orang Sunni dan Nasrani di Mesir.
4.        Terjadinya perebutan kekuasaan antara bangsa Barbar dan bangsa Turki terutama dalam bidang militer.
5.        Adanya pemaksaan ideologi syi’ah kepada rakyat yang mayoritas sunni.
6.        Datangnya serbuan dari tentara salib.
7.        Lemahnya para khilafah.
8.        Perluasan wilayah difokuskan ke bagian Timur sementara pembinaan di Afrika Utara terabaikan sehingga menyebabkan berkurangnya pengaruh Dinasti Fatimiyah di sana. Akhirnya Afrika Utara melepaskan diri dan membentuk pemerintahan sendiri.
9.                                   Para penguasanya selalu tenggelam dalam kehidupan yang mewah.
10.                               Kondisi al-‘Adhid (sakit) yang dimanfaatkan oleh Nur ad-Din.


BAB III
PENUTUP

Dari uraian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.        Dinasti Fatimiyah didirikan oleh Said ibn Husayn (Ubaidillah al-Mahdi) berpusat di Maroko, dengan ibukotanya al-Manshur-iyah
2.        Kemajuan Dinasti Fatimiyah puncaknya terjadi pada masa Al-Aziz. Ia adalah putra dari Al-Muizz yang bernama Nizar dan bergelar al-Aziz (yang perkasa). Al-Aziz, berhasil mengatasi persoalan keamanan di wilayah Suriah dan Palestina dan berhasil meredam berbagai upaya pemberontakan yang terjadi di wilayah-wilayah kekuasaannya.. Bahkan, pada masanya, istana dibangun dengan sangat megahnya hingga mampu menampung tamu sebanyak 30.000 orang, demikian juga masjid dibangun dengan megahnya, sektor perhubungan lancar, keamanan terjamin, perekonomian dibangun, baik sektor pertanian, perdagangan maupun industri, sesuai dengan perkembangan teknologi pada masa itu. Dinasti Fatimah mengalami kemajuan antara lain karena: militernya kuat, administrasi pemerintahannya baik, ilmu pengetahuan berkembang, dan ekonominya stabil.
3.        Keruntuhan Dinasti Fatimiyah disebabkan oleh beberapa kelemahan yang ada pada masa pemerintahannya. Kelemahan-kelemahan itu antara lain: sistem pemerintahan berubah menjadi sistem parlementer, terjadinya persaingan perebutan wazir, adanya resistensi dari orang-orang Sunni dan Nasrani di Mesir, terjadinya perebutan kekuasaan antara bangsa Barbar dan bangsa Turki terutama dalam bidang militer, adanya pemaksaan ideologi syi’ah kepada rakyat yang mayoritas sunni, datangnya serbuan dari tentara salib, lemahnya para khilafah, perluasan wilayah difokuskan ke bagian Timur sementara pembinaan di Afrika Utara terabaikan sehingga menyebabkan berkurangnya pengaruh Dinasti Fatimiyah di sana. Akhirnya Afrika Utara melepaskan diri dan membentuk pemerintahan sendiri, dan para penguasanya selalu tenggelam dalam kehidupan yang mewah, serta kondisi al-‘Adhid (sakit) yang dimanfaatkan oleh Nur ad-Din.
DAFTAR PUSTAKA
Ensiklopedi Islam; ……….. ; Ichtiar Baru van Hoeve; Jakarta; Jilid 2.
Ensiklopedi Islam; Mukti Ali dkk; Departemen Agama RI; 1988; Jilid 1.
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Taufik Abdullah dkk (ed); Ichtiar Baru van Hoeve; Jakarta; Jilid 2.
History of the Arabs (terj); Philip K. Hitti; Serambi; Jakarta; 2006; cet.II.


[2] Ibid
[3] Philip K. Hitti, History of The Arabs, (New York : Palgrave Macmillan, 2002) h. 787
[4] Ibid
[5] Philip K. Hitti, History of The Arabs, (New York : Palgrave Macmillan, 2002) h. 787
[7] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid
[12] Ensiklopedi Islam; ……….. ; Ichtiar Baru van Hoeve; Jakarta; Jilid 2; hal. 4
[13] Ibid
[14] http://id.wikipedia.org/wiki/Kekhalifahan_Fatimiyah
[16] Ibid
[17] History of the Arabs (terj); Philip K. Hitti; Serambi; Jakarta; 2006; cet.II; hal. 792.
[18] Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Taufik Abdullah dkk (ed); Ichtiar Baru van Hoeve; Jakarta; Jilid 2; hal. 135.
[19] Keyakinannya ini kemudian diterima dan diakui oleh sekte Drusiyah (Druze).
[20] History of the Arabs (terj); Philip K. Hitti; Serambi; Jakarta; 2006; cet.II; hal. 793.
[21] Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Taufik Abdullah dkk (ed); Ichtiar Baru van Hoeve; Jakarta; Jilid 2; hal. 135.
[22] Ensiklopedi Islam; Mukti Ali dkk; Departemen Agama RI; 1988; Jilid 1; hal. 287
[23] Ibid
[24] History of the Arabs (terj); Philip K. Hitti; Serambi; Jakarta; 2006; cet.II; hal. 794.
[25] History of the Arabs (terj); Philip K. Hitti; Serambi; Jakarta; 2006; cet.II; hal. 796.
[26] Ensiklopedi Islam; ……….. ; Ichtiar Baru van Hoeve; Jakarta; Jilid 2; hal. 6
[27] Ensiklopedi Islam; Mukti Ali dkk; Departemen Agama RI; 1988; Jilid 1; hal. 287
[28] Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Taufik Abdullah dkk (ed); Ichtiar Baru van Hoeve; Jakarta; Jilid 2; hal. 136

Tidak ada komentar:

Posting Komentar