Jumat, 17 Februari 2012

Pemikiran Muhammad Abduh


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Cahaya Islam memancar di wilayah-wilayah yang dihuni oleh para penganut setia agama ini. Agama jangan dianggap sebagai penghalang, yang memisahkan semangat manusiawi dengan kemampuan-kemampuan yang diberikan Allah untuk mengetahui kebenaran di dunia ini sepanjang ia berada di dalamnya. Tepatnya, agama harus meningkatkan penelitian terhadap kebenaran ini, menuntut perhatian untuk mencari bukti dan memerintahkan untuk mencapai tingkat pengabdian dan usaha yang benar-benar dalam segala lapangan ilmu pengetahuan itu juga segala sesuatu yang ada dalam proporsi-proporsi tujuan yang benar, dengan memperhitungkan waktunya secara tepat. Barang siapa tidak mengimani, tidak akan tahu apakah sebenarnya agama itu dan bahkan merendahkannya, sesuatu yang tidak akan diampuni oleh Tuhan seru sekalian alam .
Kepercayaan Muhammad Abduh, bahwa agama dan pengetahuan tidak bertentangan antara satu sama lain, sehingga tidak mustahil akal dapat menerima kebenaran aturan-aturan agama, tidaklah menunjukkan kurang penghargaannya terhadap kesucian wahyu Tuhan. Bagi Muhammad Abduh agama itu diberikan Tuhan kepada manusia sebagai pedoman untuk menghadapi akal yang sehat. Oleh karena itu, setelah kebenaran dalam agama terbukti, maka akal harus menerima pelajaran-pelajarannya. Gambaran ini diartikan Muhammad Abduh sebagai suatu kerja sama antara agama dan akal. Pengertiannya tentang wahyu ialah, bahwa wahyu adalah bisikan batin Allah, hanya terbatas untuk para Nabi dan Rasul. Pekerjaan Rasul-rasul itu ialah memberi pendidikan budi pekerti kepada rakyat umum. Oleh karena itu pelajaran-pelajaran agama terutama diperuntukkan bagi perasaan umum tidak untuk lapisan masyarakat yang teratas saja.[1]
Dalam makalah ini akan dibahas : Identitas dan riwayat hidup Muhammad Abduh, Pemikiran Muhammad Abduh secara umum, Pemikiran Muhammad Abduh tentang Pendidikan Islam dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam sekarang.
B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut :
1.    Bagaimana Identitas dan Riwayat hidup Muhammad Abduh ?
2.    Bagaimana Pemikiran Muhammad Abduh secara umum ?
3.    Bagaimana Pemikiran Muhammad Abduh tentang Pendidikan Islam ?
4.    Bagaimana Relevansinya dengan Pendidikan Islam sekarang ?
C.  Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka penulis dapat menentukan tujuan pembahasan sebagai berikut :
1.    Untuk mengetahui Identitas dan riwayat hidup Muhammad Abduh.
2.    Untuk mengetahui Pemikiran Muhammad Abduh secara umum.
3.    Untuk mengetahui Pemikiran Muhammad Abduh tentang Pendidikan Islam.
4.    Untuk mengetahui Relevansinya dengan Pendidikan Islam sekarang.
D.  Batasan Masalah
Berdasarkan tujuan pembahasan masalah  tersebut di atas, maka penulis dapat menentukan batasan masalah sebagai berikut :
1.      Identitas dan riwayat hidup Muhammad Abduh.
2.      Pemikiran Muhammad Abduh secara umum.
3.      Pemikiran Muhammad Abduh tentang Pendidikan Islam.
4.      Relevansinya dengan Pendidikan Islam sekarang.





BAB II
PEMBAHASAN
A.  Identitas dan Riwayat Hidup Muhammad Abduh
Pada akhir zaman kekuasaan Muhammad Ali Pasha, Muhammad Abduh dilahirkan. Dalam sebuah desa Mahallat Nasar namanya, suatu desa dalam daerah Mudiriyah di Mesir Hilir, pada tahun 1849 M.[2]
Ayahnya bernama Syeh Abduh Khueruddin, seorang petani dusun yang sangat miskin. Ibunya bernama Yatimah, berasal dari dusun Hissah Syisyir, yang terletak di dekat Shamthah, sebelah barat di Mesir. Dari Ibunya, melalui kabilah Adie mengalir darah turun menurun dari Sayidina Umar Ibnu Khattab. Meskipun kedua orang tuanya hidup dalam lembah kemiskinan, akan tetapi kedua orang tuanya tetap kaya dengan cita-cita dan kebesaran jiwa, yang nanti akan mewariskan keturunan yang mampu dan sadar mengubah nasib umat Islam yang sedang dilanda kejumudan.[3]
Sejak masih kecil Muhammad Abduh sangat disayangi oleh ibu bapaknya karena ia banyak menunjukkan sifat-sifat yang mulia, kecerdasan otak yang menjadi tumpuan harapan, dambaan dan kebanggaan.[4]
          Pada waktu berumur kira-kira 10 tahun ia diserahkan ayahnya kepada seorang guru, yang mengajarkan Al-Quran kepadanya. Konon beberapa tahun saja dalam asuhan guru itu ia telah dapat menghafalkan seluruh isi Al-Quran. Pelajaran menulis dan membaca diperoleh dari sekolah “Al Jami’Al Ahmadi” di Thantha (1865).[5]
Ketika Muhammad Abduh masih kecil, sudah mulai tampak jiwa pembaruan dan perubahan yang terdapat pada dirinya. Sangat mengecewakan hatinya pelajaran-pelajaran yang diperolehnya dalam sekolah. Tidak saja karena pelajaran itu statis dan sangat dipersukar, akan tetapi juga tidak sesuai dengan keadaan otak dan jiwa pelajar-pelajar yang menerimanya pada waktu itu. Melihat keadaan semacam itu, ia tidak sabar untuk tinggal lebih lama lagi, lalu kembali ke kampungnya dengan hampa tangan dan dengan maksud tidak akan datang lagi ke sekolah. Apa gunanya aku membuang umur dalam perkara yang sia-sia, demikian katanya dengan nada kecewa.[6]
Ketika ayahnya menyuruh kembali ke sekolah, maka ia pun berangkat mengadukan nasibnya kepada pamannya, Syeh Darwisy Hadr, yang tinggal di desa Kanisah Urin. Pamannya adalah seorang shufi, yang gemar kepada ilmu pengetahuan. Untuk menambah ilmu pengetahuannya pernah Syeh Darwisy mengembara ke Tripoli Barat. Darwisy Hadr terkenal sebagai seorang ahli tafsir dan ahli Hadis yang telah banyak menghafal kitab-kitab Hadis di luar kepala, antara lain kitab Muwaththa’, karangan Imam Malik.[7]
Kedatangan Muhammad Abduh disambutnya dengan penuh kasih sayang. Ia memahami akan maksud anak muda itu, bahkan ia barangkali melihat tanda-tanda yang luar biasa dari kemenakannya itu. Dididik, dibina, diisi dan diasahnya jiwa dan pikiran Muhammad Abduh. Ditimbulkannya kembali himmah (cita-cita) yang telah hampir padam untuk menuntut ilmu pengetahuan, ditanamkannya akan tugas dan tanggung jawab akan keadaan dan nasib umat di hari depan. Pikiran Muhammad Abduh pun terbukalah mencari jalan sendiri untuk kemajuan ilmu pengetahuan, dalam mengejar cita-cita yang telah ketinggalan.[8]
Konon pernah ia bertanya kepada Syeh Darwisy itu tentang tarekat yang telah diamalkannya.”Tarekat itu ialah Islam,”jawabnya.”Apakah wirid Tuan Guru?” “Membaca Al-Quran dan menanamkan isi kandungannya,”katanya dengan tersenyum.[9]
Mungkin Syeh Darwisy berkelakar dengan keponakannya, tetapi jawaban itu meninggalkan bekas yang sangat dalam di hati Muhammad Abduh. Ia tertarik akan mengetahui isi Al-Quran lebih luas. Di bawah pimpinan pamannya diselami maksud kitab suci itu, menyusur jalan yang dibawa oleh jiwa pembaruan dan pembangunan.[10]
Kabarnya, di samping mempelajari ilmu pengetahuan yang banyak itu, tidak lupa ia mengamalkan tarekat shufi sebagai yang diperoleh dari pamannya Syekh Darwisy. Ia juga seringkali ‘uzlah, menyendiri, untuk menyatukan pikiran dan hatinya kepada Allah SWT. Hubungan dengan pamannya tidak putus. Tiap ia pulang pakansi didatanginya Syekh Darwisy untuk kepentingan pelajaran Al-Quran dan ilmu-ilmu yang lain.[11]
Baru dua tahun dalam Perguruan Tinggi ini namanya sudah semakin popular. Ia tidak puas dengan pelajarannya di Al-Azhar itu, yang cara mengajarnya sangat kuno dan cara berfikir sangat terikat. Ia membuat revolusi dalam pengajarannya. Pelajaran yang diajarkan dua tahun dalam sekolah agama olehnya dipelajari dengan cara modern, konon dalam waktu satu hari. Dahulu ia pernah menghafal kitab Kafrawi dengan titik komanya dalam waktu satu bulan. Ia menghafal Al-Quran dan mengajarkannya dengan cara yang modern.[12]
Di Cairo pada waktu itu sedang berkembang perhatian terhadap kebudayaan kuno atau klassik dan terhadap ilmu alam dan sejarah, yang menimbulkan suatu gerakan tarekat, menjalankan latihan-latihan serta banyak sekali menjauhkan diri dari kesibukan masyarakat. Sekali lagi konon pamannya mempergunakan pengaruhnya dan menariknya kembali ke dalam kancah perjuangan. Hal ini kira-kira terjadi dalam sekitar tahun 1872, ketika Muhammad Abduh mulai berkenalan pertama kali dengan Sayyid Jamaluddin Al Afghani.[13]
Abduh memperoleh pendidikan agama secara tradisional yang kemudian disempurnakan berkat hubungan dengan Jamaluddin al-Afghani. Setelah dibuang oleh Pemerintah Inggris, dia menggunakan waktunya di Beirut dan Tripoli, kemudian di Paris, di mana ia bersama Afghani menerbitkan majalah (Al-Urwatul Wutsqo, Pen.) selama beberapa bulan. Dia kembali (ke Mesir) untuk menduduki jabatan-jabatan penting di bidang keagamaan, termasuk jabatan Mufti Mesir. Kemauannya yang keras untuk melaksanakan pembaharuan dalam Islam dan menempatkan Islam secara harmonis dengan tuntutan zaman modern dengan cara kembali kepada kemurnian Islam mendorongnya untuk mengkaji kembali masalah-masalah keagamaan dan menuliskannya, sehingga karenanya terangkatlah namanya sebagai bapak peletak aliran modern dalam Islam itu.[14]

B.  Pemikiran Muhammad Abduh Secara Umum
Muhammad Abduh memiliki kecenderungan terhadap modernism seperti tampak dari langkah pembaharuan dan tulisan-tulisannya, khususnya dari penafsirannya terhadap sebagian ayat Al-Qur’an, dan dari sebagian fatwanya.[15]
Manhaj yang dipakai oleh Muhammad Abduh dalam menafsirkan Al-Qur’an tampak jelas dari kecenderungannnya menafsirkan Al-Qur’an menggunakan ilmu pengetahuan Barat yang populer pada masa itu.[16]
Di dalam beberapa fatwa Muhammad Abduh, kita mendapati adanya suatu usaha untuk menta’wilkan hukum-hukum fiqh menggunakan standar peradapan Barat, bahkan membolehkan menerima peradapan Barat. Dalam makalahnya tentang poligini, dia menguraikan sejarah poligini bangsa-bangsa lain, termasuk bangsa Arab sebelum Islam. Dia mengatakan bahwa Islam telah memberi keringanan kepada salah satu adat bangsa Arab dalam hal memiliki istri banyak, yakni menerima adat tersebut namun membatasi sampai bilangan empat, hal ini karena belas kasih Islam kepada wanita dari kezhaliman kaum jahiliyah. Akan tetapi ia memandang bahwa pada masa sekarang, karena berbagai kondisi yang muncul pada masyarakat, dan kemustahilan sseorang berlaku adil terhadap istri-istrinya, maka harus dilarang baginya berpoligini, kecuali dalam keadaan khusus yang ditetapkan oleh hakim.[17]
Demikianlah, sekilas tentang manhaj modernism Muhammad Abduh, berupa penafsiran Al-Qur’an yang menyalahi makna lahiriyah ayat, yang terkadang berdalih tamsil; terkadang dia menolak sunnah yang shahih, dia berdalih karena bertentangan dengan-yang dia anggap-ilmu pengetahuan modern; kemudian dia menggunakan metode kesejarahan untuk menggungat hokum-hukum syari’ah lalu mengaitkannya dengan kondisi sementara masa kini. Meskipun pada Muhammad Abduh kecenderungan semacam ini bersifat lemah, namun memberi pengaruh cukup kuat pada murid-muridnya, bahkan menjadi besar dan berlipat ganda, seperti terjadi pada Qasim Amin dan Ali Abdur-Razaq.[18]

C.  Pemikiran Muhammad Abduh tentang Pendidikan Islam
Jamaluddin Al Afghani mengisi jiwa baru kepada Muhammad Abduh dalam pengetahuan-pengetahuan klasik, mengarahkan perhatiannya kepada ilmu pengetahuan Barat, yang menyebabkan ia menerjemahkan beberapa kitab, dan selanjutnya perhatian terhadap soal-soal yang mengenai negara Mesir dan agama Islam hangat tumbuhnya pada masa itu.[19]
Muhammad Abduh adalah salah seorang murid Jamaluddin Al Afghani yang amat rajin. Dalam karangannya yang pertama mengenai tarekat dan mistik, yang bernama “Risalah al Waridah”(1874) Sayyid Jamaluddin Al Afghani disebut-sebutnya dengan penuh rasa khidmat sebagai gurunya. Dari uraian Muhammad Abduh dalam karangannya yang kedua, “Hasyiya ‘ala Syarh ad-Dawani lil ‘aqaidil’adudiyah”(1876) pengaruh Sayyid Jamaluddin Al Afghani kepada Abduh lebih nyata lagi kelihatan.[20]
Perkenalan dengan Sayyid Jamaluddin Al Afghani itu membuat perubahan dalam kehidupan Muhammad Abduh. Pada waktu ia masih berumur 30 tahun dan masih menjadi mahasiswa pada Universitas Al Azhar. Ia turut menerima pelajaran manthiq dan filsafat yang diajarkan oleh Jamaluddin. Demikian rapat pergaulannya dengan gurunya, itu sehingga antara Abduh dan Jamaluddin tidak dapat dipisahkan, sama paham politiknya, sama haluan perjuangannya, sama penderitaan dan nasibnya, sama mendapat penyakit yang serupa.[21]
Disebabkan karena pengaruh Sayyid Jamaluddin Al Afghani dan gerakan terhadap pemerintahan Khadawiyah Ismail di Mesir, menyebabkan Muhammad Abduh menyibukkan dirinya dalam dunia persuratkabaran dalam tahun 1876, dan pekerjaan itu tidak dilepas-lepaskan.[22]
Pada tahun 1879 ia menamatkan pelajaran di Al Azhar dengan mendapat ijazah sebagai ‘Alim. Beberapa waktu ia bekerja sebagai guru partikelir, memberikan pelajaran dalam kursus dan lain-lain. Kemudian ia diangkat menjadi mahaguru pada Sekolah Tinggi “Darul Ulum” yang beberapa tahun sebelumnya sudah diberi dasar pembaruan pelajaran-pelajaran dalam ilmu pengetahuan .[23]
Meskipun demikian dalam pemerintahan yang liberal, Muhammad Abduh segera dipanggil kembali serta diangkat menjadi pemimpin sebuah surat kabar pemerintah, yang bernama “Al-Waka’I al-Misriyah” (1880) yang tidak hanya berisi pengumuman pemerintah saja, akan tetapi juga karangan-karangan untuk mempengaruhi pendapat umum. Di bawah pimpinan Muhammad Abduh surat kabar itu menjadi terompet partai liberal.[24]
Meskipun ada persesuaian paham antara kedua ulama besar itu terhadap kemerdekaan dan pembangunan umat Islam dengan kekuatan sendiri, yang dicita-citakan itu, ada juga perbedaan amanat rencana Muhammad Abduh dan rencana Sayyid Jamaluddin Al Afghani. Al Afghani sifatnya sangat revolusioner, dan menghendaki perubahan secepat-cepatnya dalam segala lapangan. Sebaliknya Muhammad Abduh hanya menghendaki perubahan tenang, sedikit demi sedikit hendak mencapai kemajuan setapak demi setapak, Ia berkeyakinan bahwa perubahan lahir yang radikal, perubahan secara mendadak dan revolusioner, tidak akan dapat mengakibatkan perubahan dalam pendidikan, terutama dalam lapangan budi pekerti dan agama, sebagai syarat untuk mencapai kemajuan umat Islam. Sedikit demi sedikit perhatiannya itu dicurahkan kepada agama Islam serta pokok pelajarannya dalam dunia modern.[25]
Karena usaha Muhammad Abduh itu perselisihan paham yang hebat antara rakyat Arab dan golongan Pasha dapat diselesaikan berangsur-angsur. Tentang apa yang dikerjakan dalam usaha itu tidak diketahui orang dengan terang tetapi nyata, bahwa sesungguhnya beliau tidak menyetujui tindakan yang dilakukan secara militer atau kekerasan, beliau tidak keberatan mempergunakan kekuatan nasional yang tidak tawar menawar serta mengikhtiarkan dengan sungguh-sungguh supaya pemmpin-pemimpin gerakan itu menyelesaikan kekeruhan itu dengan perundingan supaya kembali ketenteraman umum.[26]
Tatkala ia pergi ke Prancis, ia bertemu kembali dengan Jamaluddin Al Afghani yang juga dikeluarkan dari Mesir sehubungan dengan aksinya dalam kekacauan itu. Jika kedua penganjur yang bergelora itu meluap, dan mereka meneruskan perjuangan di luar Mesir, malah sekarang bekerja di tengah-tengah masyarakat Eropa. Lalu menerbitkan sebuah majalah yang sangat menggemparkan dunia pada waktu itu yaitu “Al ‘Urwatul Wutsqa”, organ yang senama dengan itu, didirikannya bersama-sama pada tahun 1884 di Paris.[27]
Walaupun umurnya tidak beberapa lama, karena setelah delapan bulan majalah tersebut terpaksa dihentikan, jasanya tidak sedikit. Pengaruhnya besar dalam usaha memperkembangkan rasa kebangsaan dalam Islam. Isinya sangat ditakuti oleh orang Barat. Menentang dunia Barat dengan menghidupkan lagi kebudayaan Islam. Mempersatukan umat Islam seluruh dunia.[28]
Rintangan-rintangan yang dialaminya di Prancis menyebabkan Muhammad Abduh menyeberang ke Afrika. Di Tunis dilanjutkannya cita-cita dan usahanya itu dengan mencurahkan segala tenaga kepada badan pemeliharaan, “Al ‘Urwatul Wutsqa”, yang sebenarnya mengandung sifat-sifat Sayyid Jamaluddin Al Afghani.[29]
Pada tahun 1889 ia diizinkan kembali ke Mesir. Harapannya masih tetap akan meneruskan cita-citanya memperbarui masyarakat Islam. Ia bekerja dalam lapangan pengadilan. Dalam tahun 1892 ia pernah menjadi ketua pengadilan di Benha. Namanya semakin menjadi harum. Ia sendiri merasa puas, karena dapat dilaksanakannya hokum Islam dalam praktek dan memberi perubahan-perubahan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.[30]
Pekerjaanya dalam lapangan pengadilan meninggalkan bekas-bekas, yang diikuti orang di belakangnya. Cara-cara ia bekerja dan dalam mengambil kebijaksanaan dalam lapangan itu dapat dibaca orang dalam karangan laporannya, yang bernama “ Takrir fi Islah al- Mahakim asy-Sya’iyah “(1318 H- 1900 M). Karangannya merupakan dorongan untuk menjadikan perubahan besar dalam lapangan pengadilan syara. Juga disebutkan di dalam dasar-dasar sekolah hakim dan pengajaran-pengajaran yang berhubungan dengan kebutuhan itu.[31]
Kehormatan yang sebesar-besarnya dalam lapangan ini diperolehnya dalam tahun 1889, tatkala ia sudah beberapa tahun memangku jabatan Mufti Mesir, diangkat menjadi Syaikhul Azhar, pangkat yang setinggi-tingginya bagi ulama Mesir.[32]
Pada tahun 1889 itu juga ia menjadi anggota dari badan eksekutif, yang merupakan badan perwakilan rakyat dalam tingkatan pertama, juga jabatan mahaguru terbuka kembali baginya. Pada tahun 1894 ia menjadi anggota pengurus Al Azhar yang dibentuk atas dorongannya juga untuk perubahan dan kemajuan Sekolah Tinggi itu. Di sini juga ia menunjukkan jasa yang amat besar. Tidak saja ia menjadi anggota pengurus yang selalu memikirkan pembaruan Al Azhar, tetapi ia juga seorang mahaguru yang rajin dalam menunaikan kewajibannya dan dicintai oleh murid-muridnya.[33]
Pembaruan pengajaran dalam Al Azhar ditimbulkan oleh aliran paham baru dalam Islam, yang menghendaki perbaikan dalam cara mengajar dan belajar, dalam pemilihan ilmu dari penentuan waktu dan lain sebagainya, yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan keperluan hidup kaum Muslimin. Cita-cita itu sudah kelihatan sejak zama Ismail Pasha (1863 – 1879) walaupun kebutuhan-kebutuhan itu sudah terasa sejak peradapan Barat masuk Mesir (1798). Di antara yang berjasa dalam pembaruan ini kita sebutkan sejak dari Syekh Mustafa Al-‘Arusyu, yang menjadi rektor pada tahun 1864 – 1870. Syekh Muhammad al-Abbasi al Mahdi cucu dari al Mahdi yang terkenal (meninggal 1814 ), sampai kepada Sayyid Jamaluddin Al Afghani dan Syekh Muhammad Abduh. Begitu juga pada zaman Syekh al Maraghi banyak perubahan-perubahan yang baru menurut kehendak masa. Walaupun mendapat tantangan yang hebat, di antara lain dari Syekh Muhammada ‘Ulaisyi (Hanafi), mulai 3 Februari 1872 dapatlah ditetapkan perubahan baru bagi Al-Azhar. Sejak 1901(dalam masa Syekh Muhammad Abduh memegang pimpinan) kita dapati Al-Azhar terbagi atas 4 tahun pengajaran rendah, 5 tahun pengajaran menengah, dan 4 tahun pengajaran tinggi. Dari bagian tinggi yang terdiri dari 3 macam fakultas, yaitu Kulliyatul Lughotil Arabiyah, untuk Bahasa dan Kesusastraan Arab, Kulliyatu Syari’ah, untuk hokum agama dan Kulliyatu Ushuluddin untuk Pengetahuan Ketuhanan, mahasiswa-mahasiswa itu dapat menyempurnakan pelajarannya ke bagian Takhasus (Special Section) yang terdiri atas 4 bagian, masing-masing bernama : Bagian tarikh dan Filsafat, Bagian Ushulul Fiqh dan Fiqh dan Bagian Wa’az dan Irsyad atau Propaganda Islam.[34]
Disamping pekerjaannya yang bermacam-macam itu dalam 13 tahun kembalinya ke Mesir, ia masih sempat mengupas berbagai soal dan menulis bermacam-macam karangan. Di antaranya kita sebutkan “Risalah At-Tauhid” (1897). Kemudian tidak kurang pentingnya, “Syarah Kitab Al-Basair An-Nasiriyah”, Tasnifal Qodhi Zainuddin”, kedua-duanya tentang logika (mantik) selesai tahun 1898. Adapun kitab “Al-Islam wa Nasroniyah ma’al ‘ilmi wal madaniyah”, adalah sebuah karangannnya yang besar juga bahannya, berisikan pembelaan Islam terhadap serangan agama Kristen dalam lapangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan (1902).[35]
Perlu juga kita catat, bahwa diantara yang meminta perhatiannya ialah Tafsir Al-Quran. Tidak saja dalam menafsirkan Qur’an itu ia berbeda dengan tradisi yang sudah-sudah, tetapi sedapat mungkin dibawanya filsafat Al-Qur’an itu kepada susana sekarang. Dalam menafsirkan Al-Qur’an ia tidak mau terlibat dalam keadaan dahulu kala, karena bukankah Al-Quran itu diturunkan untuk segenap zaman dan masa ? Sebagian besar sari pada Tafsirnya itu dimuat dalam majalah Islam yang penting pada waktu itu, yang menyiarkan paham-paham Muhammad Abduh, yaitu majalah”Al-Manar”. Sayang, ia sendiri tidak dapat menyelesaikannya, Pekerjaan itu diteruskan sedapat mungkin oleh murid-muridnya, Muhammad Rasyid Ridha, Pemimpin Al-Manar, salah seorang murid dan sahabatnya, yang kemudian menerbitkan Tafsir Muhammad Abduh itu dengan “ Tafsir A-Qur’anul Hakim” sehari-hari lebih dikenal dengan nama “Tafsir Muhammad Abduh”.[36]
Perlu ditegaskan, bahwa pelajaran Muhammad Abduh yang modern yang menimbulkan kegoncangan yang maha hebat di kalangan kaum kolot. Kegoncangan itu tidak hanya merupakan pertentangan terhadap karangan-karangannya dan buah tutur fatwanya, tetapi juga merupakan permusuhan terhadap dirinya. Terang-terangan disiarkan orang tulisan-tulisan yang berisikan keterangan-keterangan yang mencemarkan diri Muhammad Abduh. Tetapi Muhammad Abduh terus berjalan, setapakpun tidak mundur, selangkah tidak tertegun, Makin ramai dibicarakan orang makin girang hatinya, karena makin dekat umat yang memperhatikan buah pikirannya itu kepada kebenaran, mendapat sambutan yang setinggi-tingginya. [37]
Rencana perjuangan Muhammad Abduh dalam pembaruan Islam yang dapat diketahui orang dari uraian-uraiannya sendiri dapat kita simpulkan kepada tiga pokok dasar: 1. Menyusun agama Islam kembali kepada bentuk asli, 2. Memperbaruhi bahasa Arab, 3. Menuntut pengakuan hak-hak rakyat terhadap pemerintah.[38]
Walaupun yang menjadi dorongan dalam perjuangan ialah pelajaran dan pengalaman yang diperolehnya dalam pergaulan dengan Barat, tetapi dasar-dasar pelajarannya terhadap Islam terutama diperolehnya dari pelajaran-pelajaran Ibnu Taimiyah (meninggal 1328 M) dari Ibnu Qayyim al-Jauziyah (1292-1350) dalam memecahkan soal-soal hokum agama yang bersifat membangun secara perahan-lahan dan dari pelajaran Al Ghazali mengenai perbaikan akhlak ethisch religious. Pelajaran ini berdasarkan keyakinan, bahwa kebesaran agama Islam yang murni itu tidak dapat diombang-ambingkan oleh perubahan dan pergolakan zaman. Oleh karena itu yang menjadi tujuan dalam perjuangan pembangunan Islam ialah menghilangkan kebiasaan–kebiasaan yang salah yang mencemarkan agama dan yang menyebabkan agama tidak sesuai dengan keadaan zaman. Pendek kata akan mengembalikan agama Islam kepada bentuk asli serta menyesuaikannya dengan kemajuan yang sejati.[39]

D.  Relevansinya dengan Pendidikan Islam sekarang
Dalam pembicaraan mengenai rukun Islam, yang dipegang teguh oleh Muhammad Abduh, seperti shalat, zakat, puasa dan haji, seperti yang biasa terdapat dalam mistik, pelajaran itu disesuaikannya dengan pelajaran budi pekerti. Tentang pelajaran tawakkal, qadha dan qadar, rupanya Muhammad Abduh memilih jalan yang sesuai dengan penyusunan budi pekerti masyarakat, suatu jalan yang dapat menghilangkan segala fatalism, yang melumpuhkan segala ikhtiar manusia. Ia menganjurkan dengan pelajarannya itu usaha sekuat-kuatnya bagi tiap manusia, selaras dengan budi pekerti dalam mistik, yang menganjurkan tolong menolong.[40]
Dapatlah kiranya diambil simpulan dari pelajaran Muhammad Abduh, bahwa ia sangat membela pendiriannya dalam agama Islam, baik terhadap pendirian-pendirian kuno, maupun kepada agama Kristen, berdasarkan sejarah agama yang bersifat falsafah. Pengutusan para Rasul-rasul itu dipandang olehnya sebagai pendidikan yang bertingkat-tingkat, dan tingkatan tertinggi daripada susunan pendidikan itu ialah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw, yang merupakan agama sejati. Dengan pendidikan ini manusia dapat selamat dunia dan akhirat. Kalau bangsa-bangsa yang beragama Islam itu, maka hal itu menurut Muhammad Abduh disebabkan karena agama Islam itu dewasa ini tidak dipeluk dan diamalkan sebagaimana bentuk yang asli.[41]
Pemikiran Muhammad Abduh tentang pendidikan Islam sekarang masih sangat relevan di antaranya agama dan pengetahuan tidak bertentangan, pendidikan budi pekerti kepada masyarakat umum harus digalakkan, pembelajaran di sekolah hendaknya selalu dinamis dan dipermudah, dan melaksanakan pembaharuan pendidikan Islam serta menempatkan pendidikan Islam secara harmonis dengan tuntutan zaman modern.
Pemikiran Muhammad Abduh bersifat liberal namun moderat, karena ia tidak menghendaki perubahan secepat-cepatnya dalam segala lapangan. Namun ia hanya menghendaki perubahan tenang, sedikit demi sedikit hendak mencapai kemajuan setapak demi setapak. Ia berkeyakinan bahwa perubahan secara radikal, perubahan secara mendadak dan revolusioner, tidak akan dapat mengakibatkan perubahan dalam pendidikan.









BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.      Muhammad Abduh adalah putra dari Syeh Abduh Khueruddin dan Yatimah. Ia adalah anak seorang petani miskin tetapi kaya akan cita-cita dan kebesaran jiwa. Ia memiliki sifat-sifat mulia, kecerdasan otak bahkan jiwa pembaharuan dan pembangunan.
2.      Pemikiran Muhammad Abduh secara umum sangat modern, liberal namun cukup moderat, dan tidak menyetujui tindakan yang dilakukan secara militer atau kekerasan namun dengan perundingan.
3.      Pemikiran Muhammad Abduh tentang Pendidikan Islam di antaranya mengadakan pembaharuan pelajaran-pelajaran dalam ilmu pengetahuan, pembaruan pengajaran dan perbaikan dalam cara mengajar dan belajar, dalam pemilihan ilmu dari penentuan waktu dan lain sebagainya yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan keperluan hidup kaum Muslimin.
4.      Relevansi pemikiran Muhammad Abduh dengan pendidikan Islam sekarang adalah pendidikan budi pekerti kepada masyarakat umum harus digalakkan, pembelajaran di sekolah hendaknya selalu dinamis dan dipermudah, dan melaksanakan pembaharuan pendidikan Islam serta menempatkan pendidikan Islam secara harmonis dengan tuntutan zaman modern.

B.  Saran
Syeh Muhammad Abduh adalah ulama dan hukama, yang jasa-jasanya terukir dalam lembaran kitab dan buku-buku terpahat dalam sejarah, terhunjam di atas permukaan kalbu kaum Muslimin yang hidup di belakangnya. Paham Muhammad Abduh dalam pemikiran menganut Liberalisme namun cukup moderat, marilah kita petik buah dari perkataanya, dijadikan buah tutur segala usahanya.

DAFTAR RUJUKAN

Busthami Muhammad Sa’id, Gerakan Pembaruan Agama antara Modernisme dan Tajdiduddin (Bekasi, Wacana Lazuardi Amanah, 1995)
Imam Munawwir, Mengenal 30 Pendekar dan Pemikir Islam (Surabaya, PT Bina Ilmu, 2006),
Ishaq Musa’ad dan Kenneth Cragg, The Theology of Unity (London : George Allen & Unwin, 1966)
Machnun Husein, Islam dan Pembaharuan (Jakarta, Raja Grafindo PersaPPda, 1995)



[1] Imam Munawwir, Mengenal 30 Pendekar dan Pemikir Islam (Surabaya, PT Bina Ilmu, 2006),486
[2] Imam Munawwir, Mengenal 30 Pendekar dan Pemikir Islam (Surabaya, PT Bina Ilmu, 2006),473
[3] Ibid,473
[4] Ibid,473
[5] Ibid,473
[6] Imam Munawwir, Mengenal 30 Pendekar dan Pemikir Islam (Surabaya, PT Bina Ilmu, 2006),475
[7] Ibid,475
[8] Ibid,475
[9] Ibid,476
[10] Imam Munawwir, Mengenal 30 Pendekar dan Pemikir Islam (Surabaya, PT Bina Ilmu, 2006),476
[11] Ibid,476
[12] Ibid,476
[13] Ibid,476
[14] Ishaq Musa’ad dan Kenneth Cragg, The Theology of Unity (London : George Allen & Unwin, 1966, 103-104
[15] Busthami Muhammad Sa’id, Gerakan Pembaruan Agama antara Modernisme dan Tajdiduddin (Wacana Lazuardi Amanah, 1995), 155
[16] Ibid, 155
[17] Ibid, 156
[18] Busthami Muhammad Sa’id, Gerakan Pembaruan Agama antara Modernisme dan Tajdiduddin (Wacana Lazuardi Amanah, 1995), 157
[19] Imam Munawwir, Mengenal 30 Pendekar dan Pemikir Islam (Surabaya, PT Bina Ilmu, 2006),479
[20] Ibid,479
[21] Imam Munawwir, Mengenal 30 Pendekar dan Pemikir Islam (Surabaya, PT Bina Ilmu, 2006),479
[22] Ibid,479
[23] Ibid,479
[24] Ibid,480
[25] Imam Munawwir, Mengenal 30 Pendekar dan Pemikir Islam (Surabaya, PT Bina Ilmu, 2006),480
[26] Ibid,480
[27] Ibid,481
[28] Ibid,481
[29] Ibid,481
[30] Imam Munawwir, Mengenal 30 Pendekar dan Pemikir Islam (Surabaya, PT Bina Ilmu, 2006),482
[31] Ibid,482
[32] Ibid,482
[33] Ibid,482
[34] Imam Munawwir, Mengenal 30 Pendekar dan Pemikir Islam (Surabaya, PT Bina Ilmu, 2006),483
[35] Ibid,483
[36] Imam Munawwir, Mengenal 30 Pendekar dan Pemikir Islam (Surabaya, PT Bina Ilmu, 2006),484
[37] Ibid,484
[38] Ibid,484
[39] Imam Munawwir, Mengenal 30 Pendekar dan Pemikir Islam (Surabaya, PT Bina Ilmu, 2006),485
[40] Ibid,487
[41] Imam Munawwir, Mengenal 30 Pendekar dan Pemikir Islam (Surabaya, PT Bina Ilmu, 2006),487